Ketiga bentang alam dimaksud adalah kawasan Pegunungan Arfak, kawasan Sorong Selatan dan Pesisir Raja Ampat. Ketiganya merupakan wilayah utama dimana Bentara Papua melakukan pengorganisasian komunitas, asesmen daya dukung ekologi, krisis dan keberadaan masyarakat adat, potensi sumberdaya alam dan hingga membangun stasiun riset yang menjadi pusat belajar bersama dan pengembangan komoditas tempatan dalam beberapa tahun terakhir.Â
Saya tidak pernah menginjakkan kaki di dataran tinggi Anggi, di pinggiran danaunya yang tenang dan mistis. Saya bahkan tidak pernah membaca apapun tentang masyarakat adat di Pegungan Arfak.Â
Sebab itu juga bagi saya yang lahir di sebuah kota pesisir bernama Serui, proses mengerjakan buku ini adalah kembali pada kebersahajaan masyarakat suku/adat dan bentang alam Papua.
Saya akhirnya membaca buku Ekologi Papua (yang penyusunanya melibatkan sekitar 76 penulis) dan bertemu dengan konsep konservasi yang berbasis kearifan lokal. Konsep tersebut dikenal dengan prinsip Igya Ser Hanjop yang turun temurun ditradisikan masyarakat suku Hatam; salah satu suku yang mendiami kawasan Pegunungan Arfak.Â
Selain ini, saya juga diharuskan membaca laporan-laporan penelitian mutakhir yang lebih pendek dan makalah-makalah yang sudah terbit di tahun-tahun yang lampau.
Di tengah proses itu, saya menikmati udara dingin di ketinggian 2000-an mdpl, mencecap citarasa kopi Arabika dari pinggiran Danau Anggi Laki-laki yang bibitnya dibawa oleh para evangelis di sekitaran tahun 1980-an. Juga menikmati sayuran segar, seperti sawi, wortel dan kentang yang merupakan sumber pertanian utama masyarakat di sini.Â
Saya belajar dan takjub.Â
Sesudah dua minggu di Pegunungan Arfak, saya melakukan perjalanan ke Teminabuan, Sorong Selatan. Saya mengunjungi wilayah adat dari masyarakat adat Knasaimos.Â
Knasaimos dapat dimaknai sebagai konfederasi adat yang bertahun-bertahun berjuang melawan pembalakan liar, kebijakan transmigrasi sepihak dan rencana ekspansi perkebunan sawit. Dalam perlawanan menjaga tegaknya hak-hak dan wilayah adat, masyarakat Knasaimos berjejaring dengan NGO seperti Greenpeace, Telapak dan Bentara Papua.Â
Selama kunjungan lapangan ini, saya menetap di Kampung Manggroholo dan Kampung Sira; dua kampung bersaudara yang pertama kali mendapat ijin Perhutanan Sosial di Papua Barat.