Pendek kata, di tiga bentang alam yang mewakili kompleksitas dataran tinggi, dataran menengah dan dataran pesisir Papua Barat, saya mengalami pembelajaran yang sangat berharga.Â
Bertemu cukup banyak orang, mendengar dan merekam kesaksian, serta menulis ceritanya adalah perjumpaan maknawi yang sungguh berharga. Belum lagi studi terhadap sumber-sumber sekunder yang melengkapi cerita-cerita dari masyarakat adat.
Proses penulisan buku ini membuat saya jatuh cinta kesekian kali kepada Tanah Papua.
Terima kasih
Untuk itulah, saya sangat berterima kasih kepada seluruh staf Bentara Papua, khususnya kepada manajemen yang mempercayakan penulisan buku ini kepada seorang blogger. Termasuk juga para pendiri yang bersedia diwawancarai dan mereka yang sehari-hari menjadi pengorganisir di setiap kampung.
Bersamaan itu, terima kasih dan rasa hormat yang tinggi wajib saya tujukan kepada Tete, Bapa, Mama dan Kaka-kaka di sekitar Danau Anggi, Pegunungan Arfak, wilayah Adat Knasaimos di Sorong Selatan, dan di Kampung Solol, Pulau Salawati Raja Ampat.Â
Tanpa kehadiran mereka, bersama ingatan dan cerita, apa yang disebut sebagai satu dasawarsa perjalanan Bentara Papua tak pernah bakal mewujud dalam kontribusi lokalitas yang kuat.
Dengan kekurangan di sana sini, saya berharap buku Make it Happen ini boleh menjadi semacam "kaca benggala" dimana kawan-kawan di Bentara Papua melihat perjalanan dirinya.Â
Buku sederhana ini mungkin bisa menjadi sumbangan refleksi dari organisasi anak-anak muda Papua yang berani merumuskan mimpi dan mengerjakannya secara konsisten di tengah-tengah masyarakat adat di Papua Barat. Mudah-mudahan buku ini dapat pula mengisi kekosongan narasi dari geliat OMS di Tanah Papua yang kita cintai.
Di penghujung, saya teringat kata-kata Nelson Mandela, pejuang kesetaraan hak asasi manusia yang melawan penindasan apartheid di Afrika Selatan. Kata-kata tersebut adalah It always seems impossible until it's done!
Saya kira, frasa ini mewakili apa yang sudah dicapai Bentara Papua dalam sepuluh tahun terakhir ini. Hormat!