Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

24 Jam Bersama Gaspar dalam Catatan

16 Maret 2024   15:41 Diperbarui: 17 Maret 2024   04:29 509
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reza Rahadian sebagai Gaspar dalam 24 Jam Bersama Gaspar. (Dok Instagram/Angga Dwimas Sasongko via Kompas.com)

Betapa bodohnya diriku telah menyakitimu
Kurelakan dirimu untuk melangkah
Karena ku tak pernah berubah
--Firasat, Sundancer

Awal 2021, saya membeli 24 Jam Bersama Gaspar lewat toko online. Novel yang dikarang Sabda Armandio Alif, diterbitkan oleh Mojok di tahun 2017.

Saat membaca Gaspar, bumi manusia sedang dimangsa pandemi Covid-19, tak terkecuali di kota kecil seperti Sampit, Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. Saya sendiri sedang dilanda jenuh tetapi tugas belum selesai.

Jadi, di siang yang gerah, di dalam kamar kos-kosan, saya tersedot ke dalam setiap halaman kisah Gaspar. Saya jarang sekali bisa membaca novel seperti ini. Atau lebih persisnya, sepengalaman saya, tidak banyak novel yang mengakibatkan pembacanya tersedot, enggan berhenti dan dibalut kenikmatan di akhir. 

Apalagi jika naskahnya dikarang oleh seseorang yang tidak cukup dikenal---maksud saya, berbeda daya tariknya ketika saya berhadapan dengan karangan yang dibuat Eka Kurniawan.

Begitulah dengan Gaspar dan Sabda Armandio, saya nyaris tidak memiliki referensi apapun tentang keduanya. Namun cerita Gaspar memaksa saya membacanya nyaris tanpa ingin berhenti. Saya merasa, dengan preferensi selera yang sederhana tentu saja, bersyukur karena baru selesai membaca novel yang bagus. Cakep.

Saya memiliki keinginan menulis novel. Tentang anak muda perantau, idealisme dan kemarahan pada nasib berbangsa, perseteruan politik dan kekerasan negara, asmara yang sederhana dan malang yang menyatukan dua entitas kultur. Tapi saya tidak yakin ini akan dikerjakan bagaimana. Saya hanya tahu jika judulnya Delete Contact.

Kemudian di suatu waktu, ketika saya sudah melupakan perjalanan Gaspar, beredar kabar versi filmnya sedang dikerjakan dan bakal tayang di platform Netflix. 

Versi film ini disutradarai Yosep Anggi Noen. Sutradara yang satu ini adalah sosok yang mengerjakan Istirahatlah Kata-kata (2017), yang berkisah tentang hidup penyair Wiji Thukul. Sedang skenario Gaspar ditulis Mohammad Irfan Ramli.

Film
Film "24 Jam Bersama Gaspar" (2023) | Dok Netflix via CNN Indonesia

Pada perhelatan Piala Citra 2023, 24 Jam Bersama Gaspar berhasil meraih banyak nominasi. Di antaranya, Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Adaptasi Terbaik, Penata Efek Visual Terbaik, Penata Suara Terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik.

Tiga tahun kemudian, atau hari ini, versi film itu akhirnya tayang di Netflix. Saya (bahkan) menontonnya sampai dua kali.

24 Jam Bersama Gaspar di Netflix
Reza Rahadian sebagai Gaspar. Sesungguhnya saya tidak bersepakat jika nama ini lagi yang menjadi protagonisnya. Selain terlalu mengada dimana-mana, dari jenis film biopik, komedi hingga romantisme urban, Reza Rahadian kurang mewakili karakter yang kelam; karakter tragik seperti Gaspar.

Ada Laura Basuki sebagai Kik, namun ia memang tidak untuk menjadi sorotan di sini. Termasuk, bagi saya, Sheninna Cinnamon yang memerankan Agnes, partner Gaspar selama 24 jam terakhir dari hidup Gaspar. Kemudian sosok Wan Ali yang diperankan Iswadi Pratama. Wan Ali adalah ayah yang menjual Kirana, anaknya sendiri yang juga sahabat dan pusat dunia masa kecil Gaspar. Wan Ali adalah pemilik toko emas, pembunuh suami Ibu Tati, dan pedofil.

Dari sederet karakter ini, saya lebih terpesona pada karakter Bu Tati yang diperankan Dewi Irawan. Ibu Tati, janda yang bertahun-tahun masih menunggu suaminya pulang, berharap sang suami hanya pergi bukan mati. 

Selama itu, Ibu Tati memendam bukan saja penantian atau kehilangan, tapi kabar bohong bahwa suaminya terlilit hutang dan bunuh diri. Tak mengherankan Dewi Irawan mendapat nominasi untuk Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik di Piala Citra 2023 karena peran ini.

Gaspar membuat Ibu Tati memiliki kehendak balas dendam, menjadikan Kik dan Njet (Kristo Immanuel) ingin terbebas dari belenggu kemiskinan. Karena itu mereka bersekutu merampok toko emas Wan Ali, bersama Agnes dan anak lelaki Ibu Tati, Yadi (Sal Priadi).

Nuansa Noir yang Kental. Nuansa ini menjadikan Gaspar adalah film yang kelam, dengan sederet karakter "yang bermasalah dengan hidup yang tidak mampu mereka menangkan". 

Sebab itu, Gaspar tampak sebagai katalisator, yang menyatukan mereka kedalam perampokan. Karena dalih ini juga, perampokan yang gagal di aksi pertama itu bukan aksi kriminal biasa. Sebaliknya, ia bekerja selayaknya senjata pembebas dari belenggu penindasan yang direpresentasi oleh toko emas dan Wan Ali.

Bagian yang noir itu juga dipertontonkan melalui kehidupan di dalam bangunan kosong dan terlantar. Bersama eksistensi kumpulan jelata yang berdesakan sejak di kereta hingga di depan arena tinju bawah tanah. Seperti perayaan akan hidup yang keras dimana sikap memangsa sesama bisa berlaku untuk siapa saja; tak ada batas tegas hitam dan putih, orang baik dan orang jahat--tak ada moral.

Selain itu, di antara kumpulan jelata, film 24 Jam Bersama Gaspar juga berusaha menjaga pesan tentang hidup dengan kesepian yang menggerogoti. Tapi orang-orang tidak boleh terlalu sibuk dengan penyesalan-penjelasan yang menyertai hidup semacam itu. Pilihan menggunakan backsound seperti tembang "Firasat" milik Sundancer menguatkan atmosfir ini.

Gaya bercerita yang menjadikan penonton bolak-balik ke masa kecil Gaspar (dengan jantung di sebelah kanan) membuat penonton tetap terjaga dalam ingatan bahwa Gaspar adalah riwayat dari kehilangan yang menuntut balas. Dan, sedikit komedi yang dititipkan melalui dialog antar tokoh (seperti percakapan Gaspar dan Ibu Tati yang tak suka disela karena itu membuatnya harus mengulang cerita dari awal) adalah bagian yang cukup menggelitik di film berdurasi 98 menit ini.

Yang terasa masih kurang dramatik adalah aksi kejar-kejaran antara gerombolan Gaspar dan para pengawal Wan Ali. Visual efeknya tak cukup memberi nuansa tegang dan brutalisme, kalau bukan terasa dipaksakan. Namun kekurangan paling mendasar rasanya adalah pengelolaan konflik, ketegangan hingga ending yang terlalu cepat tapi bukan terburu-buru.

Terlepas dari kekurangan itu, nuansa noir yang galibnya mengelaborasi atmosfer pesimisme, sinisme, dan fatalisme dari perjalanan hidup seorang detektif dan kumpulannya yang terbuang tak cuma membekas. Namun juga memberi peringatan bahwa sisi yang kelam dari kehidupan orang-orang terbuang adalah bagian yang memperkaya sudut pandang terhadap pembalasan dendam. 

Sekiranya, film yang seperti ini menguatkan kedalaman citarasa dan mutu dari film-film buatan anak negeri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun