Pada perhelatan Piala Citra 2023, 24 Jam Bersama Gaspar berhasil meraih banyak nominasi. Di antaranya, Film Cerita Panjang Terbaik, Sutradara Terbaik, Penulis Skenario Adaptasi Terbaik, Penata Efek Visual Terbaik, Penata Suara Terbaik, Penata Musik Terbaik, dan Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik.
Tiga tahun kemudian, atau hari ini, versi film itu akhirnya tayang di Netflix. Saya (bahkan) menontonnya sampai dua kali.
24 Jam Bersama Gaspar di Netflix
Reza Rahadian sebagai Gaspar. Sesungguhnya saya tidak bersepakat jika nama ini lagi yang menjadi protagonisnya. Selain terlalu mengada dimana-mana, dari jenis film biopik, komedi hingga romantisme urban, Reza Rahadian kurang mewakili karakter yang kelam; karakter tragik seperti Gaspar.
Ada Laura Basuki sebagai Kik, namun ia memang tidak untuk menjadi sorotan di sini. Termasuk, bagi saya, Sheninna Cinnamon yang memerankan Agnes, partner Gaspar selama 24 jam terakhir dari hidup Gaspar. Kemudian sosok Wan Ali yang diperankan Iswadi Pratama. Wan Ali adalah ayah yang menjual Kirana, anaknya sendiri yang juga sahabat dan pusat dunia masa kecil Gaspar. Wan Ali adalah pemilik toko emas, pembunuh suami Ibu Tati, dan pedofil.
Dari sederet karakter ini, saya lebih terpesona pada karakter Bu Tati yang diperankan Dewi Irawan. Ibu Tati, janda yang bertahun-tahun masih menunggu suaminya pulang, berharap sang suami hanya pergi bukan mati.Â
Selama itu, Ibu Tati memendam bukan saja penantian atau kehilangan, tapi kabar bohong bahwa suaminya terlilit hutang dan bunuh diri. Tak mengherankan Dewi Irawan mendapat nominasi untuk Pemeran Pendukung Perempuan Terbaik di Piala Citra 2023 karena peran ini.
Gaspar membuat Ibu Tati memiliki kehendak balas dendam, menjadikan Kik dan Njet (Kristo Immanuel) ingin terbebas dari belenggu kemiskinan. Karena itu mereka bersekutu merampok toko emas Wan Ali, bersama Agnes dan anak lelaki Ibu Tati, Yadi (Sal Priadi).
Nuansa Noir yang Kental. Nuansa ini menjadikan Gaspar adalah film yang kelam, dengan sederet karakter "yang bermasalah dengan hidup yang tidak mampu mereka menangkan".Â
Sebab itu, Gaspar tampak sebagai katalisator, yang menyatukan mereka kedalam perampokan. Karena dalih ini juga, perampokan yang gagal di aksi pertama itu bukan aksi kriminal biasa. Sebaliknya, ia bekerja selayaknya senjata pembebas dari belenggu penindasan yang direpresentasi oleh toko emas dan Wan Ali.
Bagian yang noir itu juga dipertontonkan melalui kehidupan di dalam bangunan kosong dan terlantar. Bersama eksistensi kumpulan jelata yang berdesakan sejak di kereta hingga di depan arena tinju bawah tanah. Seperti perayaan akan hidup yang keras dimana sikap memangsa sesama bisa berlaku untuk siapa saja; tak ada batas tegas hitam dan putih, orang baik dan orang jahat--tak ada moral.
Selain itu, di antara kumpulan jelata, film 24 Jam Bersama Gaspar juga berusaha menjaga pesan tentang hidup dengan kesepian yang menggerogoti. Tapi orang-orang tidak boleh terlalu sibuk dengan penyesalan-penjelasan yang menyertai hidup semacam itu. Pilihan menggunakan backsound seperti tembang "Firasat" milik Sundancer menguatkan atmosfir ini.