Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Politik Komedi dan Kebudayaan Demokrasi

27 Februari 2024   09:44 Diperbarui: 29 Februari 2024   20:43 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pangkal tengkarnya adalah rasionalisme instrumental memang tidak pernah ambil peduli dengan pembatasan nilai; ia justru mengada karena prinsip penggunaan sarana yang efektif dalam mencapai tujuan.

Ia hanya peduli pada konsekuensi atau dampak sejauh efektif atau tidak. 

Di sisi yang lain, mengapa rasionalitas instrumental bisa menyesatkan, sebab ada banyak sekali motif dan "dalih non-rasional" yang mendasari keputusan memilih (atau tidak memilih) seseorang dalam pemilu. Termasuk juga yang sekadar ingin mengolok-olok sistem yang dipandang memuakan.  

Pada persilangan ini, dan berkaitan dengan gugatan terhadap rasionalitas-non-instrumental, komedi atau humor memiliki arti strategis. Posisinya setara dengan gugatan susastra terhadap politik yang membusuk. 

Dan dalam persilangan yang semacam ini pula, kita lantas menyadari bahwa keberadaan komedi bukan terutama untuk diperingati. 

Keberadaanya adalah sebentuk "politik kritik" terhadap politisasi yang dekaden. Terhadap politik yang terjatuh harkatnya karena proseduralisme dan persekongkolan segelintir. 

Bagaimanakah bentuk operasional dari politik komedi terhadap politik dekaden? Tidak usah ke negeri-negeri yang jauh, peristiwa politik mutakhir sudah cukup sebagai teks historisnya.

Politik Komedi dan Dinamika Paska-Pemilu 2024. Sesudah "drama before" (ingat polemik data intelijen partai politik, keputusan MK untuk Pasangan Capres-Cawapres, presiden boleh kampanye) dan "drama after" pemilu (hasil penghitungan suara yang dituduh curang, rencana pengajuan hak angket, pertemuan elite mendadak oposan), kita akan kembali disuguhkan dengan satu perkara berulang dan tak tersentuh yang jelata. 

Perkara itu adalah pengaturan ulang koalisi dan pseudo-oposisi dimana kutub perubahan dan kutub keberlanjutan akan mencari jalan untuk melebur. Apa yang menjadi pembeda dalam pemilu (dan terbentuknya kolam suara) akan tampak seperti lawakan bapack-bapack yang garing di pos ronda. 

Terus di suatu momentum, elite yang tampak bertengkar itu bertemu, tersenyum, dan berbicara kepada media massa. Kemudian berbagi kursi kuasa dengan menyusun judul-judul demi masa depan bangsa (yang tidak lebih dari pengulangan dangkal belaka). 

Di titik inilah, politik komedi adalah aksi untuk mengolok-olok. Olok-olok tersebut, setidaknya, menunjukan betapa rapuhnya batas yang oleh pendukung paslon garis keras disangka sebagai "tak bisa dinegosiasikan", apalagi dilampaui.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun