Tim ini tidak memainkan sepakbola sebagaimana yang diharap-harap, boro-boro bikin kejutan. Australia hanya perlu disiplin bermain tanpa memberi ruang, menjaga presing yang rapi. Â Hasilnya sudah bisa ditebak: Game is over!
Kesimpulannya adalah timnas ini tidak berkembang, gagal tumbuh.Â
Mereka tidak berhasil menjadikan turnamen yang singkat sebagai mekanisme dialektis. Yaitu gerak terus menerus dalam persaingan yang menyempurnakan kelebihan dan mengurangi kekurangan.Â
Semua tim yang melaju jauh di turnamen selalu memelihara momentum dialektikanya. Mereka yang berhasil mengelola ini akan berujung sebagai juara.Â
Tim semacam ini bukan tidak menderita kekalahan. Bahkan kekalahan justru dibutuhkan sebagai mekanisme yang wajar dari penciptaan ruang bagi pertumbuhan terus menerus. Kekalahan adalah kondisi pemungkin (enabling condition).
Anda masih tidak percaya dengan perspektif semacam ini?
Cobalah periksa lagi bagaimana perjalanan Argentina sebagai juara Piala Dunia edisi terakhir. Argentina jelas beruntung ditopang bakat-bakat World Class, serupa Messi, Di Maria hingga anak muda semacam Enzo Fernandez, misalnya.Â
Akan tetapi, jika Scaloni dan team tidak menemukan momen dialektikanya, maka tim ini akan bernasib sama dengan era Diego Armando Maradona melatih. Messi bahkan sedang segar-segarnya kala itu.
Jika masih tidak percaya juga, Anda bisa membaca catatan-catatan yang menganalisis keberhasilan "Tim Tango" dari artikel berjudul Fleksibilitas Skema Ganda dalam Satu Argentina. Â
Pendek kata, timnas kecintaan kita semua lagi-lagi tersingkir dengan cara yang semenjana.
Jadi, untuk sistem yang tidak berkembang sedikitpun di sepanjang turnamen, masuk 16 untuk pertama kali saja sudah cukup. Kalau melaju lebih jauh dari ini, justru akan aneh.Â