Kita masih diajak percaya akan ada kejutan di Piala Asia 2023. Tidak sepenuhnya salah, sayangnya, itu lebih mungkin diciptakan Thailand.Â
Timnas paska-pandemi dengan kekuatan naturalisasi yang signifikan ini mungkin tampil dengan sepakbola yang tidak membosankan. Yaitu jenis sepakbola yang mengurangi bermain bola-bola panjang (long pass) di sepanjang waktu.Â
Atau bermain tanpa sentuhan pendek dan cepat yang (semestinya) identik dengan mereka yang posturnya tidak tinggi, besar berurat berakar, sebagaimana kebanyakan penduduk di Asia Tenggara. Atau jenis sepakbola bertahan yang ulet dan berharap hidup mati ditentukan adu penalti.
Timnas edisi Shin Tae-Yong ini telah keluar dari ortodoksi semacam itu, termasuk tidak banyak melibatkan bakat-bakat Papua yang redup bersamaan hilangnya Persipura dari kasta tertinggi sepakbola tanah air.Â
Asnawi, dkk, bersama keserbaterbatasannya, akhirnya berhasil juga lolos dari penyisihan grup.Â
Vietnam yang terus-terusan merosot akhirnya dipaksa menghuni dasar klasmen. Syukurlah ini bukan Thailand, karena jika begitu, kita tidak akan berlama-lama berbicara hal-hal yang berulang tentang timnas dan takdirnya.
Maka dari pada begitu, kita langsung saja.Â
Mengapa tim ini tidak memberi kita sesuatu yang menjanjikan?
Di awal disikat Irak, kemudian di penghujung penyisihan dibabat Jepang, dan puncaknya diremuk Australia. Semua berakhir dengan skor mencolok, bukan?Â
Bahkan di laga barusan, timnas yang mengukir sejarah sebagai yang pertama kali lolos ke fase 16 besar Piala Asia, nyaris tidak menciptakan ancaman apapun. Lini tengah mampet, penetrasi sayap yang berhasil di kala menjumpai Irak, turut tersumbat.Â
Tim ini tidak memainkan sepakbola sebagaimana yang diharap-harap, boro-boro bikin kejutan. Australia hanya perlu disiplin bermain tanpa memberi ruang, menjaga presing yang rapi. Â Hasilnya sudah bisa ditebak: Game is over!
Kesimpulannya adalah timnas ini tidak berkembang, gagal tumbuh.Â
Mereka tidak berhasil menjadikan turnamen yang singkat sebagai mekanisme dialektis. Yaitu gerak terus menerus dalam persaingan yang menyempurnakan kelebihan dan mengurangi kekurangan.Â
Semua tim yang melaju jauh di turnamen selalu memelihara momentum dialektikanya. Mereka yang berhasil mengelola ini akan berujung sebagai juara.Â
Tim semacam ini bukan tidak menderita kekalahan. Bahkan kekalahan justru dibutuhkan sebagai mekanisme yang wajar dari penciptaan ruang bagi pertumbuhan terus menerus. Kekalahan adalah kondisi pemungkin (enabling condition).
Anda masih tidak percaya dengan perspektif semacam ini?
Cobalah periksa lagi bagaimana perjalanan Argentina sebagai juara Piala Dunia edisi terakhir. Argentina jelas beruntung ditopang bakat-bakat World Class, serupa Messi, Di Maria hingga anak muda semacam Enzo Fernandez, misalnya.Â
Akan tetapi, jika Scaloni dan team tidak menemukan momen dialektikanya, maka tim ini akan bernasib sama dengan era Diego Armando Maradona melatih. Messi bahkan sedang segar-segarnya kala itu.
Jika masih tidak percaya juga, Anda bisa membaca catatan-catatan yang menganalisis keberhasilan "Tim Tango" dari artikel berjudul Fleksibilitas Skema Ganda dalam Satu Argentina. Â
Pendek kata, timnas kecintaan kita semua lagi-lagi tersingkir dengan cara yang semenjana.
Jadi, untuk sistem yang tidak berkembang sedikitpun di sepanjang turnamen, masuk 16 untuk pertama kali saja sudah cukup. Kalau melaju lebih jauh dari ini, justru akan aneh.Â
Iya gak sih?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H