Bagian ini meruwat emosi dengan haru biru dan membuat kita kekurangan penglihatan kepada dua sosok yang turut dalam kemalangan tersebut.Â
Pertama, adalah pergulatan seorang Rukayah yang memilih tidak berbahagia seumur hidup. Sepanjang hidup berdiam di dalam trauma panjang. Ia menolak menyerah sembari membesarkan anak Jeng Yah, Arum Cengkeh.
Sosok yang satu lagi, yang bertahan dengan caraya adalah Purwanti. Anak perempuan Soedjagad yang (tampaknya) tidak banyak terlibat dalam keputusan penting yang dilakukan bapak atau suaminya.Â
Ia adalah saksi bisu,yang terluka oleh cinta abadi Soeraja kepada Dasiyah sekaligus kehilangan suara di tengah kuasa laki-laki. Ia menderita di dalam kekayaan industri kretek.Â
Satu-satunya yang membuat Purwanti atau Rukayah bertahan karena keharusan meneruskan hidup bagi anak-anak mereka.
Seperti pesan tua yang bilang: ketiadaan ayah adalah hilangnya kehormatan. Sedang ketiadaan ibu adalah kehilangan kasih sayang dan matinya harapan.
Epilog. Kemunculan series yang semacam Gadis Kretek ini memberi kita tontonan yang lebih berkelas tentang drama anak manusia yang berjuang untuk cintanya.Â
Gadis Kretek atau drama yang bermutu tidak menjadikan cinta sebagai energi tanpa lelah dalam dimensi Platoniknya: sesuatu yang luhur dalam dirinya sendiri.Â
Namun, sebagaimana manusia itu sendiri, ia menjadi luhur dan terhormat karena dibenturkan oleh dunia yang keras dan merampas hal-hal yang berharga bagi manusia; dunia yang justru diciptakan manusia sendiri.Â
Di Gadis Kretek, cinta itu mengikuti pergulatan dalam menyuarakan suara-suara dari para korban yang disunyikan.Â
Kita tahu, di pusat keluhuran itu, selalu hidup perempuan yang menolak dihancurkan politik yang bengis.