Bagaimanakah perlawanan korban tragedi politik dan kemanusiaan disuarakan di tengah negara yang sedang totaliter?
Kita bisa pergi sebentar ke Cile di tahun 1973, terhitung sejak 11 September. Hari dimana penderitaan panjang warga Cile dimulai.
Hari itu, Salvador Allende, seorang sosialis yang terpilih lewat jalur parlementarian dikudeta oleh kekuatan fasis yang disokong CIA. Blik fasisme itu dipimpin Jendral Augusto Pinochet.Â
Aliansi CIA-Militer bekerja dengan sandi "Plan Jakarta " yang terinspirasi dari keberhasilan membasmi Partai Komunis Ind0nesia (PKI) di Indonesia 1966. Sejak saat ini, ribuan orang hilang karena penculikan dan pembunuhan, terutama kaum laki-laki.Â
Tapi, para perempuan, kekasih, kakak atau ibu, menolak dibungkam di depan fasisme yang bengis.Â
Dengan dukungan dan perlindungan Gereja Katolik lewat lembaga yang bernama Vicara de la Solidaridad (Vikariat Solidaritas) , para perempuan ini mengembangkan kerajinan jahit menjahit kain perca. Kerajinan yang disebut dengan Arpillera ini menjadi "living memory" dari suara-suara perlawanan perempuan di Cile.Â
Bagaimanakah suara-suara perempuan Cile ini menjangkau dunia yang lebih luas dan mendorong masifikasi perlawanan?Â
Di halaman Sastra Alibi, Ronny Agustinus mengisahkan jika:
Awalnya sebagai curahan perasaan, arpillera pun menjadi potongan kain yang berkisah, memberi kesaksian tentang apa yang dialami para perempuan Cile. Vikariat Solidaritas mulai menjual hasil karya ibu-ibu ini kepada orang-orang asing yang menyelundupkannya ke luar negeri, dan cerita-cerita mereka pun akhirnya beredar ke dunia internasional---cerita tentang penghilangan paksa, kerinduan, cinta, perdamaian, dan harapan akan keadilan. Â
Dari kisah kaum perempuan Cile melawan rezim totalitarian, kita diajarkan bahwa perempuan selalu memiliki nyali dan cara menghadapi penderitaannya. Khususnya berhadapan dengan tatanan kuasa yang mendehumanisasi kehidupan dan menghancurkan harapan.Â
Series Gadis Kretek, Apa yang Diperingatkan Kepada Hari Ini?
Saya menikmati web series orisinal pertama Netflix Indonesia yang disutradarai oleh pasangan Kamila Andini dan Ifa Isfansyah dalam sudut pandang di atas. Series ini berhasil masuk 10 Top Netflix Series Non-English di 22 negara sejak pertama kali tayang 2 November 2023.
Sudut pandang tersebut adalah manakala perempuan yang diposisikan pasif, nrimo dan tidak patut justru bertindak sebagai agensi yang memiliki siasatnya sendiri. Utamanya ketika kondisi yang mengancam menampakan gelagatnya.
Dari cara pandang ini, Gadis Kretek memberikan kita, sekurangnya, tiga pergulatan anak manusia yang menjadi backbone dari keseluruhan kisah.Â
Pertama, adalah pergulatan Jeng Yah (Dasiyah; Dian Sastro Wardoyo) sebagai figur sentral dari keagenan tersebut.Â
Jeng Yah dan kretek adalah narasi sejarah yang saling membentuk, karena itu dia adalah hidup yang dipertaruhkan. Hubungan ini meletakkan keduanya kedalam konfigurasi yang saling menegaskan; Jeng Yah hanya mungkin dibayangkan selama produksi kretek tetap berjalan.Â
Masalahnya--hambatan strukturalnya adalah--feodalisme lama atau patriarkisme yang berkawinmawin dengan borjuasi kretek dalam mengendalikan industri tembakau. Kombinasi tiga unsur ini tembok tebal bebalisme kultural yang sulit sekali dihancurkan dan Jeng Yah paham benar situasi ini.Â
Ironisnya, kretek tidak pernah lepas dari tangan-tangan perempuan. Namun bebalisme kultural itu menjadikan kaum perempuan sebatas buruh murah. Jeng Yah adalah kehendak yang berusaha melampuai batasan ini, ia semestinya berada di dan menjadi bagian dari "sentrum pengendali".Â
Sebab itu, Jeng Yah yang anggun dengan kepribadian yang tegas ingin terlibat sebagai aktor utama.Â
Darinya kualitas dirinyalah keputusan dalam memilih daun tembakau, peracikan saus, produksi kretek dan kemasan, hingga distribusi produk ditentukan. Darinyalah dunia rokok kretek dipertaruhkan.Â
Inilah kehendak emansipatif perempuan yang mendekatkannya dengan malapetaka. Jeng Yah adalah representasi dari bagaimana voicing the voiceless menemukan gemanya.
Konteks kedua, adalah pergulatan yang dibentuk oleh persaingan dua kutub borjuasi lokal. Energinya menghidupi sosok Idroes Moeria dan Soedjagad.Â
Persaingan yang tak cuma melibatkan kontrol atas produksi kretek memang tidak banyak diekspos dalam versi series. Padahal jejak konflik keduanya adalah arena ketegangan yang diwarisi dan menentukan masa depan Jeng Yah.
Dari ketegangan ini, kita diperlihatkan (lagi) dengan perselingkuhan antara borjuasi dan militerisme di tahun 1965/66.Â
Dendam Soedjagad yang bahkan berakar hingga ke perebutan asmara mengakibatkan Idroes Moeria masuk kedalam daftar merah. Daftar orang-orang yang diburu operasi militer tanpa pengadilan yang patut.
Di samping itu, ayah dari Purwanti jatuh hari pada Soeraja muda (Ario Bayu). Anak muda yang sempat terlunta-lunta sebelum diselamatkan kebaikan Idroes Moeria memiliki kapasitas yang memungkinkan bisnisnya mencapai kontrol tertinggi dari persaingan industri tembakau.
Romantisme menjadi rumit dikarenakan Jeng Yah dan Soeraja yang sedang dalam gejolak asmara diperhadapkan dengan lamaran Seno Aji. Sedangkan Purwanti yang manis, sabar dan tidak memiliki ambisi muluk-muluk menaruh cinta yang sepanjang hayat kepada Soeraja.Â
Ketegangan dalam hubungan semacam ini bukan saja mengancam Jeng yah dan Soeraja. Ia mengancam semua anggota keluarga dan status sosial-ekonomi yang melekat di dalamnya. Ketegangan yang berpotensi menjadi monster sebagaimana negara.
Sayangnya, versi series tidak cukup lantang memberi latar belakang dari tragedi 1965-1966.Â
Padahal pesaingan bisnis dan militer bisa melukiskan tragedi sebagai proyek yang didesain, bukan sesuatu yang tiba-tiba hadir dan merampas hidup orang-orang baik.
Ketiga, konteks yang menjadi pergulatan adalah bagaimana perempuan melewati hidup paska-tragedi.Â
Gadis Kretek produksi Netflix (terlalu) meletakkan Jeng Yah dan Soeraja sebagai sumbu utama penderitaan, kesedihan, dan penyesalan. Dalam hidup keduanya, kekuasaan yang bengis telah memaksa Jeng Yah bertahan hidup dari kehancuran harap. Di sisi yang lain, Soeraja sepanjang hidupnya menanggung perasaan bersalah di atas kekayaan yang berlimpah.Â
Bagian ini meruwat emosi dengan haru biru dan membuat kita kekurangan penglihatan kepada dua sosok yang turut dalam kemalangan tersebut.Â
Pertama, adalah pergulatan seorang Rukayah yang memilih tidak berbahagia seumur hidup. Sepanjang hidup berdiam di dalam trauma panjang. Ia menolak menyerah sembari membesarkan anak Jeng Yah, Arum Cengkeh.
Sosok yang satu lagi, yang bertahan dengan caraya adalah Purwanti. Anak perempuan Soedjagad yang (tampaknya) tidak banyak terlibat dalam keputusan penting yang dilakukan bapak atau suaminya.Â
Ia adalah saksi bisu,yang terluka oleh cinta abadi Soeraja kepada Dasiyah sekaligus kehilangan suara di tengah kuasa laki-laki. Ia menderita di dalam kekayaan industri kretek.Â
Satu-satunya yang membuat Purwanti atau Rukayah bertahan karena keharusan meneruskan hidup bagi anak-anak mereka.
Seperti pesan tua yang bilang: ketiadaan ayah adalah hilangnya kehormatan. Sedang ketiadaan ibu adalah kehilangan kasih sayang dan matinya harapan.
Epilog. Kemunculan series yang semacam Gadis Kretek ini memberi kita tontonan yang lebih berkelas tentang drama anak manusia yang berjuang untuk cintanya.Â
Gadis Kretek atau drama yang bermutu tidak menjadikan cinta sebagai energi tanpa lelah dalam dimensi Platoniknya: sesuatu yang luhur dalam dirinya sendiri.Â
Namun, sebagaimana manusia itu sendiri, ia menjadi luhur dan terhormat karena dibenturkan oleh dunia yang keras dan merampas hal-hal yang berharga bagi manusia; dunia yang justru diciptakan manusia sendiri.Â
Di Gadis Kretek, cinta itu mengikuti pergulatan dalam menyuarakan suara-suara dari para korban yang disunyikan.Â
Kita tahu, di pusat keluhuran itu, selalu hidup perempuan yang menolak dihancurkan politik yang bengis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H