Semua siasat itu tampak masuk akal, dan tentu saja, dihadapkan dengan kelalaian aparat (kalau bukan ketololan) yang berulang--ini adalah elemen paling buruk yang digarap Berlin. Â Â
Keenam, struktur atau materi dialog yang bermutu. Ini adalah elemen pokok sejak La Casa de Papel yang terjaga hingga Berlin.Â
Dialog-dialog yang terjadi tidak sebatas menyampaikan cinta, kesedihan dan patah hari, misalnya. Namun yang paling penting adalah refleksi terhadap kesedihan dan patah hati itu.
Salah satunya adalah dialog Berlin dan Damian perihal cinta di episode pertama, sebelum Camille hadir dan membalikkan refleksi Berlin. Berlin sejatinya tengah tiba pada titik tidak percaya pada cinta sejati, mengingat tiga kali perceraian yang dialami. Berseberangan nasib dengan Damian yang setia.Â
Bagi Berlin, "Cinta sejati(mu) hanya masuk akal di awal, ketika segalanya terasa indah. Saat setiap lagu mengingatkanmu padanya. Saat kau menceritakan segala hal selama makan malam dan kau tak bisa berhenti tersenyum."
Damian menyanggah lantas berkata, "Tidak, cinta datang tepat setelah itu. Saat mantranya berakhir. Saat bisa duduk diam selama makan malam karena kau merasa damai. Saling membaca pikiran dengan satu tatapan."Â
Dialog refleksif ini ditutup dengan pernyataan Berlin, "Aku membawa kita ke Paris agar bisa menikmati kedamaian melajang."
Sungguh tidak ada yang lebih dahsyat dari patah hati yang berfilsafat.
Penutup. Spin-off Berlin memang pada akhirnya adalah ending yang dimenangkan kejahatan. Juga di sepanjang kisah, tidak banyak tragedi yang terjadi, dan, sepertinya memang tidak diniatkan untuk menggarap tema semacam itu.
Saya kira, Berlin tetap memuaskan penantian dengan cara menjaga standar yang sudah ditetapkan La Casa de Papel.Â
Kurang lebihnya begitu.Â