Mama. Di atas petak kecil, di antara lembah pegunungan yang sempit, ada jejak yang panjang dan berulang dari langkah-langkah kaki Mama yang kecil, gelap, dan liat. Jejak itu adalah riwayat pergi dan pulang ke sebuah kebun di mana hidup kami, tiga orang anaknya, dipelihara dengan kerja keras yang tanpa bicara dan melewati musim yang berganti-ganti. Jejak langkah dan petak itu seperti buku harian bagi Mama.
Di kebunnya yang tidak seberapa luas dan merupakan pembagian dari keluarga besarnya, Mama rutin menanam wortel, labu kuning, petatas, dan bete. Sedikit batang bawang dan cabai.Â
Jika panen berhasil, beberapa dari tanaman itu akan dikirim ke kota yang jauh di bawah sana. Namun, sering kali, Mama lebih memilih hasil kebunnya untuk makan kami selama beberapa bulan.Â
Sesekali, terutama di hari libur yang panjang di bulan Desember, kami pergi ke kebun Mama.Â
Ini tidak seperti liburan tapi selalu saja menyenangkan. Ketika sudah berada di dalam kebunnya, Mama tidak banyak bicara, seperti lenyap di antara tanaman-tanaman itu. Kami juga tidak berani bicara, ikut-ikutan senyap dan melakukan apa yang dilakukan Mama.Â
Mama, kebun, dan tanaman-tanaman itu adalah hidup yang dipertautkan. Salah satu tak mampu ada tanpa yang lain.Â
Noken. Di dapur, di rumah Kaki Seribu yang kami tinggali, Mama menyimpan sebuah noken. Noken itu lebih tua dari umurku, apalagi umur dua adikku. Noken itu diwarisi Mama dari ibunya.Â
Ketika masih bocah dan belum bersekolah, Mama suka memasukkanku ke dalam noken. Dan membawaku menuju kebunnya yang berada di lembah yang sempit.Â
Aku seperti anjing kecil yang sepanjang perjalanan hanya menikmati pemandangan dari punggung Mama.Â