GJA memulai jejak langkahnya di Papua sebagai peneliti di The Irian Jaya Development and Information Service (Irja Disc) pada tahun 1982. Irja Disc menerbitkan buletin Berita Pembangunan Desa yang menguak kondisi dan situasi desa-desa di Papua. Kritikan atas strategi pembangunan desa disampaikan secara gamblang dan keras dalam tiap buletin itu terbit. LSM ini kemudian berubah nama menjadi Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa (YPMD).Â
Konsistensi yang sama juga direfleksikan Arianto Sangadji, bagaimana jejak inetlektual Pak George di Sulawesi Tengah, dalam tulisan berjudul George Junus Aditjondro dan Gerakan Sosial di Sulawesi Tengah (hal 194-210). Kata Arianto Sangadji, minat paling utamanya di daerah ini adalah kepentingan bisnis dan sengekta berbasis sumberdaya alam, kekerasan bersenjata dan hubungan antar keduanya.Â
Dan, yang sama pentingnya, adalah keterlibatan intelektualnya dalam perjuangan penentuan nasib sendiri Timor-Leste. Seperti tergambarkan pada tulisan yang berjudul Meniti Jalan Berduri: George Aditjondro dan Kampanye Timor-Leste (80-98), yang disumbangkan Aderito de Jesus Suarez.Â
Sebagai wartawan muda majalah Tempo, Pak George pernah meliputi keadaan Timor-Portugis di tahun 1974. Sejak saat ini, beliau mulai terhubung dengan beberapa tokoh penting pembebasan Timor-Leste, seperti Ramos-Horta. Aderito de Jesus Suarez mengatakan:Â
..Setelah kepulangannya dari Universitas Cornell, GJA secara terbuka mengkiritik pendudukan ilegal Indonesia atas Timor-Leste. Kritik terbuka itu juga didukung melalui penelitian yang mendalam soal Timor-Leste.GJA pernah menyampaikan dua makalah pada forum diskusi terbatas yang cukup menghebohkan dan membuat penguasa kampus UKSW saat itu mulai was-was dengan kampanye GJA.
Dari tulisan Aderito de Jesus Suarez, kita bisa melihat keterlibatan Pak George dalam jaringan gerakan klandenstein penentuan nasib sendiri Timor-Leste. Keberanian dan komitmen terhadap gerakan ini membuatnya dipanggil dengan "Railakan" yang bermakna "halilintar".
Bagi saya, Buku Meniti Jalan Berduri: Mengenang George Junus Aditjondro dapat membantu generasi aktivisme hari ini mengenali salah satu sosok yang tetap gigih dengan jalan intelektual organik yang dipilihnya.Â
Tentu saja, ia bukanlah kisah pribadi yang sempurna. Namun tidak diragukan lagi jika pengabdiannya bagi perjuangan demokrasi, keadilan dan hak-hak asasi manusia adalah jejak hidup dari segelintir intelektual di negeri ini.
Walau begitu, buku ini hanyalah sedikit rangkuman kesaksian dari mereka yang pernah terlibat langsung dalam kerja-kerja intelektual dan gerakan sosial dengan Pak George. Dengan minatnya yang luas serta wilayah jelajahnya yang tinggi, bisa dipastikan ada banyak sekali orang yang pernah terhubung dan memiliki kesaksian atas perjumpaan tersebut.
Termasuk saya, walau tidak lantas berarti kesaksian saya atas perjumpaan tersebut sepadan arti pentingnya dengan sosok seperti Ariel Heryanto (George Junus Aditjondro: Aktivis Tanpa Kompromi) atau Andreas Harsono (Belajar Radikalisme dari George J. Aditjondro) yang turut menyumbang tulisan bagi Meniti Jalan Berduri.
Jadi, saya akan berbagi kenangan akan perjumpaan dengan Pak George di bagian selanjutnya.