Melalui intervensi pikiran yang udik itulah, cerita ini bekerja menyusun dirinya.
***
Pada 19 Oktober, tengah malam, saya tiba di Bandung sesudah perjalanan darat dari Cianjur.
Keesokan paginya, saya melakukan orientasi ruang dengan kendaraan roda dua. Dari sini, saya mengetahui jika tempat di mana saya akan berkegiatan hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Lapangan Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara (Gasibu) dan Gedung Sate.Â
Keesokannya lagi, saya meminta diantar menyusuri Jalan Braga. Malam harinya, saya diantar lagi melintas Jalan Asia-Afrika memutari alun-alun Kota Bandung. Dan baru di hari Minggu kemarin, 29 Oktober, saya benar-benar menginjak wilayah ini dalam artian harafiah: berjalan kaki selayaknya turis di akhir pekan.
Selama menyusuri jalanan sempit yang ramai kendaraan, lanskap kota dengan arsitektur kolonial dan bangunan modern, serta ekspresi gaya hidup penduduk urban yang berseliweran, saya bertanya-tanya satu perkara.
Apakah yang membuat kisah Dilan & Milea atau Preman Pensiun begitu kuat menghidupkan Bandung dalam ingatan mereka yang datang dari jauh?
Tentang Dilan & Milea sebagai film romantisme remaja berlatar Bandung 1980-an, saya sudah beberapa kali membahasnya. Seperti yang bisa dibaca dalam Kepada "Milea: Suara dari Dilan" yang Sentimental Itu! atau dalam artikel berjudul Tentang "Dilan 1990" dan Sebuah Bayang-bayang.Â
Sedangkan tentang Preman Pensiun, di samping tidak mencatatnya, saya juga tidak mengikutinya dari awal sampai tamat. Hanya sesekali, bahkan sesudah Kang Bahar yang diperankan Didi Petet wafat.Â
Tetapi kesan terhadap sinema elektronik yang satu ini begitu kuat. Karakter-karakternya berkembang dengan alami dan alur cerita yang bermakna membuat sinetron ini adalah salah satu yang terbaik.Â
Jadi, ketika melintasi Jalan Braga yang di masa kolonial pernah menjadi De meest Eropeesche winkelstraat van Indie alias komplek pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda, apa yang saya pikirkan kembali?