Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Pikiran-pikiran yang Bekerja di Sepanjang Jalan Braga

1 November 2023   10:19 Diperbarui: 5 November 2023   09:52 1442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Braga | Dok: S Aji

Bandung dan Ingatan Remaja 1990-an. Ketika menulis cerita ini, posisi saya hanya sekitar 1 kilometer dari Jalan Caladi 59. Jalan ini adalah alamat sebuah rumah di mana Bapak Marius Widyarto merintis usaha di bidang industri garmen di tahun 1980. Alamat tersebut adalah asal-usul "C59". 

Pertama kali, rasa-rasanya, Bandung mengenalkan diri ke pikiran remaja saya di Jayapura melalui kaos bermerek C59. Kaos ini, mungkin karena pernah beriklan di majalah Hai--majalah gaul remaja 90-an--adalah ukuran dari barang bermerek saat itu. 

Selain C59, satu lagi barang bermerek yang mengasosiasikan ingatan kepada Paris van Java adalah Alpina, yang menjual keperluan adventure. Alpina didirikan pada 1 Agustus 1985 di Bandung oleh Paidjan Adriyanto. 

Hingga tahun 2000-an, ketika memulai perjalanan panjang seorang perantau dari Timur, saya masih sempat membeli celana panjang bermerek Alpina. Hasil dari menjual terompet di malam Tahun Baru dan saya memakainya lebih dari 3 tahun.

Seperasaan saat itu, barangsiapa menggunakan dua merek ini, sekalipun bekas atau pemberian, mewakili kasta sosial tertentu. Dan, saya kira, kedua merek tersebut menggenapkan pertumbuhan selera remaja 1990-an bersama perkembangan musik slow rock barat yang dinamis. 

Sesudah itu, Kota Bandung hanya senyap-senyap hidup di ingatan. Jogja, di mana Bapak berasal menjadi lebih dominan. Apalagi semasa merantau hingga ke ujung Barat, saya beberapa kali menyempatkan diri pulang. 

Di sepanjang masa-masa ini, Bandung di kesadaran saya adalah sesuatu yang dikonstruksi oleh/sebagai produk budaya layar (Screen Culture) dan karya sastra--walau untuk yang terakhir ini, saya tidak terlalu mengikutinya. 

Dengan kata lain, saya mencandrai imajinasi tentang kota yang di masa kolonial sempat disebut dengan Paradise in Exile ini dalam representasi sinetron dan film. Karena itu, dia hadir dalam dosis tertentu romantisme. 

Sinetron itu seperti Kabayan, dan yang paling berkesan sekaligus terbaru, adalah Preman Pensiun. Sedangkan film, tentu saja, tidak jauh-jauh dari cerita Dilan dan Milea walaupun ada beberapa film yang dibikin di tempat ini. Keterangan ini sekaligus bermakna Bandung dalam kesadaran saya adalah sesuatu yang tumbuh sebagai kekinian yang ngepop.

Karena itu, ketertarikan kepada Bandung, bisa dibaca dari posisi sebagai dari pikiran yang udik: terpesona dari jauh, mengalami persentuhan (langsung dan termediasi), lantas menyusun ulang pikiran atasnya.

Melalui intervensi pikiran yang udik itulah, cerita ini bekerja menyusun dirinya.

***

Salah satu sudut Jalan Braga | Dok: S Aji
Salah satu sudut Jalan Braga | Dok: S Aji
Pada 19 Oktober, tengah malam, saya tiba di Bandung sesudah perjalanan darat dari Cianjur.

Keesokan paginya, saya melakukan orientasi ruang dengan kendaraan roda dua. Dari sini, saya mengetahui jika tempat di mana saya akan berkegiatan hanya berjarak sekitar 2 kilometer dari Lapangan Gabungan Sepakbola Indonesia Bandung Utara (Gasibu) dan Gedung Sate. 

Keesokannya lagi, saya meminta diantar menyusuri Jalan Braga. Malam harinya, saya diantar lagi melintas Jalan Asia-Afrika memutari alun-alun Kota Bandung. Dan baru di hari Minggu kemarin, 29 Oktober, saya benar-benar menginjak wilayah ini dalam artian harafiah: berjalan kaki selayaknya turis di akhir pekan.

Selama menyusuri jalanan sempit yang ramai kendaraan, lanskap kota dengan arsitektur kolonial dan bangunan modern, serta ekspresi gaya hidup penduduk urban yang berseliweran, saya bertanya-tanya satu perkara.

Apakah yang membuat kisah Dilan & Milea atau Preman Pensiun begitu kuat menghidupkan Bandung dalam ingatan mereka yang datang dari jauh?

Tentang Dilan & Milea sebagai film romantisme remaja berlatar Bandung 1980-an, saya sudah beberapa kali membahasnya. Seperti yang bisa dibaca dalam Kepada "Milea: Suara dari Dilan" yang Sentimental Itu! atau dalam artikel berjudul Tentang "Dilan 1990" dan Sebuah Bayang-bayang. 

Sedangkan tentang Preman Pensiun, di samping tidak mencatatnya, saya juga tidak mengikutinya dari awal sampai tamat. Hanya sesekali, bahkan sesudah Kang Bahar yang diperankan Didi Petet wafat. 

Tetapi kesan terhadap sinema elektronik yang satu ini begitu kuat. Karakter-karakternya berkembang dengan alami dan alur cerita yang bermakna membuat sinetron ini adalah salah satu yang terbaik. 

Jadi, ketika melintasi Jalan Braga yang di masa kolonial pernah menjadi De meest Eropeesche winkelstraat van Indie alias komplek pertokoan Eropa paling terkemuka di Hindia Belanda, apa yang saya pikirkan kembali?

Saya menduga, cerita Dilan dan Preman Pensiun, sekalipun tidak menjadikan Braga sebagai lokasi utama pengambilan gambar menanam kesan yang kuat, setidaknya, karena dua kekuatan yang melekat kepadanya. 

Pertama, jejak kolonialisme yang membentuk landmark Braga (dan Jalan Asia-Afrika) dalam wujud arsitektur kolonial menggambarkan masa lalu yang tetap memiliki tempat di masa kini; masa lalu yang dipreservasi. 

Masa lalu itu berhubungan dengan sejarah sebuah kota, asal-usul nama sebuah tempat, dan kisah yang menghimpunnya sebagai ingatan bersama. 

Sedangkan di sisi kedua, melalui produksi budaya layar (screen culture) semisal film dan sinema elektronik (sinetron) juga karya sastra populer, orang-orang hari ini terhubung dengan satu daya tarik yang sangat kuat. 

Yaitu gagasan bahwa romantisme anak manusia adalah salah satu energi sekaligus alasan bahwa hidup yang tidak bisa menghindari kematian ini selalu layak dihargai. Dengan romantisme, dangkal atau berkelok-kelok, dunia manusia adalah semesta yang harus dilindungi.

Dari persilangan "dua kekuatan" ini, saya merasa Bandung adalah sebuah tempat di mana masa lalu diusahakan selalu selaras dengan produksi kesenangan dari sistem selera hari ini. Penyelarasan ini tidak lantas berarti menghilangkan proses diseleksi ulang (baca: penyingkiran) dalam kontestasi kapital, agar bisa survive dalam produksi ruang. 

Saat bersamaan, mungkin kita bisa mengatakan jika warisan landmark kolonial dan produksi budaya layar serta digitalisasi yang menyertainya telah secara efektif membentuk dan mereproduksi daya tarik turisme urban. Tentu saja, keduanya bukanlah penentu satu-satunya. 

Mereka hanya fungsional sejauh berkelindan dengan perkembangan gaya hidup konsumsi, khususnya yang dihadirkan oleh kedai kopi dan restoran. Atau semacam "perburuan nikmat lebih" di tengah warisan kota-kota kolonial.

Dengan kata lain, Jalan Braga lebih dari sekadar bujuk rayu kesenangan yang diproduksi oleh video-video pendek di Instagram, Tiktok atau Youtube.

"Filosofi Kopi" di Jalan Braga | Dok: S Aji

 Manado, apa kabar?

Saya terus terkenang pada Manado. Di usianya yang memasuki 400 tahun, Manado bukanlah kota yang membentuk dirinya terlepas dari persaingan kekuatan kolonial, yang melibatkan Belanda, Portugis, dan Spanyol.

Manado yang awalnya adalah daratan kosong di pesisir teluk berangsur-angsur berubah menjadi kota administratif yang penting bagi kepentingan kolonial. Jejak-jejak peninggalan arsitektur kolonial maupun pemukiman yang menggambarkan kota tua itu sejatinya masih ada. 

Seperti gedung parlemen Minahasaraad yang terletak di depan Bank Sulut juga benteng Nieuwe Amsterdam yang berdekatan dengan kantor Poltabes dan pertokoan Jumbo di Pusat 45. 

Kedua gedung ini seperti terabaikan, bahkan pernah berfungsi sebagai pertokoan. Sementara di masa lalu, keduanya merupakan simbol dari perkembangan sosial-politik Manado yang semakin penting sebagai kota kolonial.

Dalam makalah berjudul Perkembangan Manado Masa Kolonial (1789-1945), Irfannudin Wahid Marzuki mengatakan bahwa Manado dalam laporan bangsa Eropa sebelum tahun 1600-an belum mengacu ke wilayah daratan Manado saat ini, melainkan Pulau Manado Tua yang terletak di Teluk Manado (Palar, 2009b). 

Selanjutnya, dikatakan jika lokasi awal Manado dikenal sebagai tumpahan wenang atau labuhan wenang, karena merupakan lokasi tempat orang-orang dari luar Minahasa berlabuh dan berdagang dengan orang Minahasa (Parengkuan et al., 1986). Perkembangan selanjutnya menjadi pelabuhan, sehingga orang-orang (Minahasa, Gorontalo, Eropa, Cina, India, Arab, Bugis, dan Sangir) datang dan menetap di sana semenjak abad XVII (Tumbel, 1996; Turang, 1979).

Akan tetapi, Manado di hari-hari sekarang ini, masih jauh dari menemukan caranya sendiri untuk mencapai keselarasan dari persandingan antara masa lalu dan kekinian. Manado terasa ingin sekali mengejar janji-janji masa depan namun memutuskan akar kultural-historis masa lalunya.

Kondisi semacam ini bisa dilihat dari realitas pesisirnya yang dijejali oleh pusat-pusat perbelanjaan supermodern. Kondisi yang merefleksikan kontrol yang nyaris total dari kapitalisme belanja dengan dorongan perburuan nikmat lebih yang genit. 

Sedangkan saat bersamaan, warisan arsitektural kolonial tidak cukup mendapatkan perlindungan yang patut, kalau bukan sedang dikorbankan. 

Walau begitu, saya tidak lantas mengatakan bahwa menemukan keselarasan antara warisan kolonial dengan kehendak urbanisme kekinian adalah sesuatu yang benar dalam tataran etika pembangunan. 

Ada banyak sekali tema yang mesti didiskusikan untuk menghadirkan kota yang melindungi semua lapisan sosial dan ekonomi, bukan kota yang semata melayakan diri bagi turisme dan konsumerisme. 

Tidak ada lagi yang bisa dikatakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun