Tiba ke jembatan Soekarno, tidak banyak pemandangan berubah selain matahari yang mulai menanjak. Saya berpikir untuk mengabadikan lagi gambar dari atas sini. Gambar yang mengambil sudut pandang sebaliknya dari yang pertama.Â
Â
Kota dalam "Kontestasi Simbolik". Gambar ini, bagi saya, lebih sebagai batas simbolik dari sebuah kota dengan mimpi-mimpinya tentang kemajuan. Karena itu, dalam kehadiran kompleks pertokoan yang megah dan menggurita itu, ideologi yang menggerakan sebuah kota ke masa depan diwujudkan.Di saat bersamaan, ia adalah sekumpulan makna yang tidak tunggal dari bagaimana warga di kota ini mendefinisikan dirinya di tengah ruang dan waktu yang berubah. Pada salah satu ujungnya, ia akan berkaitan dengan bagaimana orang-orang menjalani hidup sehari-hari, merawat (atau memusnahkan) mimpi dan kecukupan, dan keterhubungan dirinya dengan jenis kebahagiaan yang ia inginkan.
Para penguasa kota (pejabat pemerintahan dan legislatif, investor, media massa dan akademisi arusutama) mungkin menghendaki jenis kota yang seragam dengan model salintempel pengalaman dari kota-kota di negeri-negeri yang jauh. Namun bagaimana itu bekerja dalam kesadaran warga, terutama mereka yang berada di pinggiran, adalah sesuatu yang tak bisa didefinisikan sejak awal.Â
Melewati "titik batas" ini, saya mengarah ke perempatan Bank Sulut atau Multimart dan mengikuti ruas jalan searah yang menghubungan gedung BCA, Korem Santiago, dan toko buku Gramedia. Kemudan berbelok ke arah pantai dan tiba di kawasan Megamas--kawasan bisnis yang memiliki luas reklamasi terbesar di Boulverd I.Â
Di Minggu pagi, kawasan Megamas adalah salah satu titik keramaian warga yang datang untuk berolahraga. Karena itu kita akan berjumpa kelompok kecil keluarga, pasangan yang menanti kehamilan, orang muda yang berpacaran hingga pelari yang sendirian seperti saya.
Di kawasan ini, orang-orang memiliki opsi untuk nongkrong di gerai McDonald atau KFC yang sudah buka sejak pagi. Pendek kata, ia mencerminkan produksi budaya urban di akhir pekan.Â
Tak terasa, capaian berlari saya  mencapai 10 kilometer, persis ketika saya melewati kompleks McDonald. Â
Titik Berakhir. Sudah saatnya berhenti. Langit makin cerah dan udara masih bersih. Sementara permukaan air laut tetap tenang sebagaimana di subuh tadi.Â
Tentu saja ada perasaan gembira. Perasaan standar dari kasta pelari hore manakala menyelesaikan episode kesekian kali dari perjuangan mengajak tubuh bekerja melawan diri sendiri. Saatnya memasuki relaksasi.
Dan, Manado pagi ini tetaplah ruang yang tidak bisa selesai dibaca dengan sekali nafas. Kompleks pertokoan yang kokoh atau jembatan Soekarno yang gagah tidak benar-benar tampak sebagai sesuatu yang statis.Â