Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Mengeja Manado di Minggu Pagi

21 Oktober 2023   10:19 Diperbarui: 21 Oktober 2023   10:21 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelabuhan Manado dengan latar belakang matahari terbit di Gunung Klabat | Dok: S Aji

15 Oktober 2023, saya mengalami Manado untuk kesekiaan kali. Tentu saja ada banyak sekali hal berubah, akan berubah, atau berubah diam-diam--kompleksitas yang tidak mungkin dirangkum semuanya dalam sekali nafas.  

Teluknya kini berkembang sebagai sirkuit kecil sebagaimana kota-kota di tempat lain. Geliat yang bersanding rapat dengan gang-gang sempit, pemukiman padat, dan sisa-sisa kehidupan nelayan. 

Jejak "sisa-sisa ini" berada di bagian Utara yang sering disebut dengan Boulevard II, seolah mengingatkan bahwa yang sudah terjadi di Boulevard I akan berulang di sini.

Hal berulang tersebut adalah satu proses ekonomi dan politik yang panjang dari pemadatan (penguasaan) investasi yang mendorong reklamasi dan menjadikan lanskap pesisir teluk berubah sebagai kawasan komersil dan etalase bagi konsumsi dan kesenangan yang tidak selalu bisa diakses semua orang. 

Walhasil, kota yang seperti ini condong membentuk watak ekslusioner. 

Di Minggu pagi ini, dan yang saya lakukan, hanyalah sebentuk kecil dari mengalami Manado dalam modus kesenangan yang sepi dengan sedikit saja percakapan sosiologis. Modus tersebut adalah dengan menyelesaikan berlari 10 kilometer seorang diri. 

Menyusuri Tepian dan Merekam Pikiran. Waktu baru memasuki jam 05.00 WITA, saya memulai dari depan Hotel Aryaduta. Menyusuri ruas jalan searah menuju jembatan Soekarno. Jembatan ini menyambungkan bagian Utara (atau dalam terminologi kolonial disebut dengan wilayah "Sabla Aer") dengan bagian tengah dari Teluk Manado.

Dari jembatan yang memiliki panjang 1,127 km dan pembangunannya menghabiskan anggaran Rp 300 miliar, kita boleh melihat kesibukan yang mulai riuh di Pasar Bersehati, buruh angkut pelabuhan. Sembari memandang Manado Tua dan Bunaken yang masih berselimuti kabut udara pagi.

Hanya ada sedikit orang yang mengambadikan gambar dirinya di atas jembatan itu, berbeda dengan di waktu menjelang senja. Jembatan yang pembangunannya terbengkalai hingga 12 tahun memang telah menjadi pusat dari keramaian kecil.     

Jembatan Soekarno | Dok: S Aji
Jembatan Soekarno | Dok: S Aji

Menyebrangi jembatan yang sedikit menanjak itu, saya tiba di jalur Boulevard II. 

Di malam hari jalur Boulevard II yang memiliki panjang sekitar 5-7 kilometer hingga ke pertigaan Tongkaina adalah potret dari persandingan dua model ekonomi. 

Di sisi sebelah daratan atau bagian Timur, berjejeran restoran ikan bakar dengan bangunan besar, parkiran, dan karyawan yang lebih banyak. Kita boleh menyebut ini sebagai kehadiran dari sektor formal: bermodal besar dan manajemen yang modern.

Sedang di sebelahnya, yang berada di tepian pantai, adalah ruang geliat dari warung kecil penjaja pisang goreng, jagung bakar dan minuman saraba. Beberapa memang menjual ikan bakar. 

Mereka bermodalkan gerobak sebagai dapurnya dan bangku plastik untuk diduduki pelanggan. Ruang ini adalah potret sosial dari informalitas ekonomi. 

Di awal tahun 2000-an, sekurang-kurangnya hingga 2006, kontras ekonomi yang seperti ini adalah geliat yang membentuk identitas ekonomi di Boulevard I atau Boulevard On Business. Namun sejak reklamasi memberi kesempatan yang lebih besar bagi kontrol aparatus modal besar, informalitas mulai terpukul keluar arena.

Pagi hari, jalur Boulverd II adalah jalur yang lengang. Kecuali beberapa warung penjual bubur Manado yang mulai ramai. Serta beberapa orang tua yang memulai jalan pagi dan sekelompok remaja dengan aktivitas yang sama.

Saya berhenti sebentar untuk mengabadikan gambar. Di seberang sana, terbentang permukaan laut yang tenang. Di kejauhan, terlihat Manado Tua dan Bunaken yang masih berkabut.  Di sisi, saya telah mencapai 3 kilometer. 

Pesisr Teluk Boulevard II yang tenang | Dok: S Aji
Pesisr Teluk Boulevard II yang tenang | Dok: S Aji
Sebenarnya di jalur Boulevard II berdiri satu Tempat Pelelangan Ikan di Tumumpa, yang menandakan jika ekonomi nelayan adalah salah satu yang masih bertahan di pesisir ini. Tapi langkah kaki saya lebih memilih balik arah ke jembatan Soekarno dan memutuskan untuk finis di kawasan Megamas yang berada di Boulevard II.

Dalam pergerakan balik arah ini, saya mampir sebentar di Indomaret demi mengurangi potensi dehidrasi. Sebotol sedang Pocari seperti cukup membantu. Sementara itu, di depan terasnya, sekelompok abege tanggung sedang bermain kartu. 

Bermain kartu adalah aktivitas bersama yang dilakukan di ruang privat (di teras rumah atau ruang tamu), lantas apa yang dicari oleh kumpulan abege tanggung itu?

Tiba ke jembatan Soekarno, tidak banyak pemandangan berubah selain matahari yang mulai menanjak. Saya berpikir untuk mengabadikan lagi gambar dari atas sini. Gambar yang mengambil sudut pandang sebaliknya dari yang pertama. 

 

Bangunan pertokoan megah yang menandai ujung kawasan Boulevard On Business di sebelah Selatan | Dok: S Aji
Bangunan pertokoan megah yang menandai ujung kawasan Boulevard On Business di sebelah Selatan | Dok: S Aji
Kota dalam "Kontestasi Simbolik". Gambar ini, bagi saya, lebih sebagai batas simbolik dari sebuah kota dengan mimpi-mimpinya tentang kemajuan. Karena itu, dalam kehadiran kompleks pertokoan yang megah dan menggurita itu, ideologi yang menggerakan sebuah kota ke masa depan diwujudkan.

Di saat bersamaan, ia adalah sekumpulan makna yang tidak tunggal dari bagaimana warga di kota ini mendefinisikan dirinya di tengah ruang dan waktu yang berubah. Pada salah satu ujungnya, ia akan berkaitan dengan bagaimana orang-orang menjalani hidup sehari-hari, merawat (atau memusnahkan) mimpi dan kecukupan, dan keterhubungan dirinya dengan jenis kebahagiaan yang ia inginkan.

Para penguasa kota (pejabat pemerintahan dan legislatif, investor, media massa dan akademisi arusutama) mungkin menghendaki jenis kota yang seragam dengan model salintempel pengalaman dari kota-kota di negeri-negeri yang jauh. Namun bagaimana itu bekerja dalam kesadaran warga, terutama mereka yang berada di pinggiran, adalah sesuatu yang tak bisa didefinisikan sejak awal. 

Melewati "titik batas" ini, saya mengarah ke perempatan Bank Sulut atau Multimart dan mengikuti ruas jalan searah yang menghubungan gedung BCA, Korem Santiago, dan toko buku Gramedia. Kemudan berbelok ke arah pantai dan tiba di kawasan Megamas--kawasan bisnis yang memiliki luas reklamasi terbesar di Boulverd I. 

Di Minggu pagi, kawasan Megamas adalah salah satu titik keramaian warga yang datang untuk berolahraga. Karena itu kita akan berjumpa kelompok kecil keluarga, pasangan yang menanti kehamilan, orang muda yang berpacaran hingga pelari yang sendirian seperti saya.

Di kawasan ini, orang-orang memiliki opsi untuk nongkrong di gerai McDonald atau KFC yang sudah buka sejak pagi. Pendek kata, ia mencerminkan produksi budaya urban di akhir pekan. 

Tak terasa, capaian berlari saya  mencapai 10 kilometer, persis ketika saya melewati kompleks McDonald.  

Kawasan Megamas dari arah McDonald | Dok: S Aji
Kawasan Megamas dari arah McDonald | Dok: S Aji
Titik Berakhir. Sudah saatnya berhenti. Langit makin cerah dan udara masih bersih. Sementara permukaan air laut tetap tenang sebagaimana di subuh tadi. 

Tentu saja ada perasaan gembira. Perasaan standar dari kasta pelari hore manakala menyelesaikan episode kesekian kali dari perjuangan mengajak tubuh bekerja melawan diri sendiri. Saatnya memasuki relaksasi.

Dan, Manado pagi ini tetaplah ruang yang tidak bisa selesai dibaca dengan sekali nafas. Kompleks pertokoan yang kokoh atau jembatan Soekarno yang gagah tidak benar-benar tampak sebagai sesuatu yang statis. 

Sebagaimana produk yang dijadikan "ikonik": dikenal luas dan diakui terutama karena keunggulannya yang khas, ia akan selalu terlibat dalam proses kontestasi dan distribusi makna bersamaan ruang yang berubah. Lebih khusus di kepala warga kota.

Selamat berlari!

---

Paris Van Java, tengah Oktober 2023. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun