Kedekatan seperti ini--yaitu ketika aspek terdalam dari kehidupan domestik mulai diceritakan-- menandakan kualitas persahabatan yang tengah naik kelas. Di titik inilah, saya merasa Decky adalah keluarga sendiri. Sebagai kakak dan guru sekaligus.Â
Tentulah ada banyak dimensi dari sosok Decky semasa hidupnya.Â
Bagi kawan-kawan yang mengenalinya dengan baik, dalam dirinya hidup selera humor yang tidak mudah ditebak. Seringkali celetukannya yang mendadak ketika kita sedang terlibat dalam obrolan yang ramai memancing tawa yang menyempurnakan suasana hangat.
Celetukannya yang tidak mudah ditebak itu adalah penanda yang terus dikenang oleh kami, sahabat-sahabatnya. Hingga hari ini.
Hal lainnya yang identik dengan dirinya adalah kesetiaannya pada musik tahun 1990-an. Hal ini terlihat ketika kami berada di room karaoke. Khususnya di saat akhir bulan, ketika laporan baru dibereskan dan rekening baru diisi gajian.Â
Di saat beberapa dari kami sibuk menyesuaikan diri dengan lagu-lagu yang lebih aktual, semisal Armada atau Noah, Decky tetap tak tergoyahkan. Ia cenderung konservatif dalam opsi ini.
"Lagu apa Abah Nadia?"
"Voodo. Sampaikan Salam Untuk Dia," ujarnya. Setiap saat seperti ini.Â
***
Di hari-hari terakhirnya, saya baru diberitahu jika sebelum wafat, Decky meminta kepada istrinya agar segera menyusul ke Sampit. Seolah-olah dia tahu bahwa saat hidupnya tak lagi lama.Â
Di masa ini, dia memutuskan menemani saya di basecamp Sampit. Saya yang seorang diri dan tengah bersiap-siap pulang.