Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Cinta Muda, Tabungan Bersama hingga Pamali di Era "Post-Facebook"

9 Juni 2023   12:45 Diperbarui: 14 Juni 2023   02:10 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengatur keuangan dengan pasangan. (iStock/Phira Phonruewiangphing via parapuan.co)

Pernah di suatu masa, ketika ibadah Magrib baru saja selesai ditunaikan.

Tubuh saya yang gerah lantas memilih keluar dari kamar kos-kosan yang sempit. Mencari sedikit udara segar di bawah langit malam Kota Sampit yang menanti hujan. Tiba-tiba saja, gawai bermerek Samsung yang baru menemani sekitar setahun bergetar.

Sebaris nama tertulis. Nama yang nyaris tak pernah menghubungi saya, terlebih melalui percakapan telepon. 

"Ada apa?" kata saya pelan. Patut sekali dicurigai, telepon mendadak begini tidak jauh-jauh dari perkara batin yang sedang menderita. Ternyata asumsi saya valid. 

Di seberang sana, seorang pemuda berkata-kata dengan nada lirih. Menahan-nahan menangis. 

Dia dan kekasihnya tidak lagi memiliki alasan untuk terus bersama. Peristiwa yang tidak mudah mengingat bagaimana mereka telah bertahan sejauh ini. Menjaga komitmen di sepanjang pasang surut Long-distance Relationship yang menguras emosi di antara Timur dan Barat.

Tidak ada yang lebih bijak dari berusaha mendengarkan. Mengikuti bagaimana kesedihan itu mengalir, mencari kata-kata, dan menemukan titik bangkitnya.

Sebab setiap patah hati yang sungguh-sungguh (baca: niat menikah yang batal) membutuhkan waktu yang panjang untuk berdialog dengan dirinya sendiri. Membayangkannya saja sudah melelahkan.

Pendek kata, percakapan baru berakhir sesudah adzan Isya berkumandang. 

Tidak banyak yang saya katakan kepada pemuda yang jarak usianya tak jauh-jauh amat ini. Saya tahu menjadi bertele-tele di hadapan patah hati yang masih berwarna senja adalah sikap yang tolol. 

Satu perkara saja yang saya pesankan, "Seberat apapun rasa sakitnya, jangan pernah terlihat masih berharap. Jangan pernah menyerah dengan penderitaannya." Ada bias maskulinitas, mungkin. Tapi, apa gunanya juga berlarut-larut di dalamnya?

Sesudah malam yang lembab itu, berbulan-bulan kemudian, saya mendengar sepasang kekasih tersebut telah memilih jalan kebahagiaannya yang baru. Tak ada lagi drama CLBK (Cinta Lama Bermasalah Kembali). 

Mereka tidak perlu membaca ulang "The Art of Loving"-nya Erich Fromm untuk memeriksa bagaimana cinta dan eksistensi manusia terdegradasi dalam masyarakat kapitalisme mutakhir. Mereka hanya butuh kekasih yang baru. Kenangan baru yang membunuh kenangan lama (atau malah kenangan baru adalah daur ulang kenangan lama belaka).

Belakangan, saya baru tahu sepasang yang kini menjadi mantan ternyata pernah menabung bersama. Tentu saja karena mereka bercita-cita menikah dan karena itu juga menabung disepakati sebagai aksi kolektif. Saya terus merasa getir sekaligus ingin tertawa.

Alasan kegetiran itu adalah menabung bersama tentu pertanda dari komitmen. Sekurang-kurangnya, tabungan bersama menjadi penanda bahwa masing-masing dari mereka sedang bekerja keras demi bahagia bersama-sama.

Yang membuat saya ingin tertawa adalah ketika rencana hidup bersama dalam ikatan suami istri itu batal, bagaimana "yang terlanjur bersama dikelola itu dinormalisasi menjadi milikmu adalah milikmu, milikku adalah milikku"? Bagaimana hubungan yang dulu hangat itu seketika berubah menjadi sikap yang kikuk.

Manusia, betapa jatuh bangunnya kalian melewati nasib yang payah. Saya terus terkenang pada sebuah kisah.

Cinta Angkatan Penderitaan adalah Jalan Sunyi. Saya tidak terlalu tahu apakah mereka, dua anak muda yang berpisah itu, membaca "Sajak Seorang Tua Untuk Istrinya" milik Rendra. 

Seorang tua dalam sajak itu adalah jiwa yang berjuang, manusia yang bekerja keras. Tapi, Suka duka kita bukanlah istimewa. Kerna setiap orang mengalaminya. Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh. 

Saya mengenal cinta seseorang kepada istrinya yang tidak mengenal menabung bersama. Jangankan yang seperti ini, cintanya yang masih dipenuhi gelap gulita Indonesia Timur tahun 1970-an adalah jenis yang nekad. 

Lelaki tersebut bertemu istrinya di acara penataran guru-guru. Kemudian tanpa babibu, hanya sekali atau dua kali bertatap, ia terus menyatakan tekad untuk melamar. 

Maka lelaki yang merantau ke tempat di mana Sam Ratulangi pernah diasingkan ini memberanikan diri pergi melamar sendirian ke Ternate, Maluku Utara. 

Seorang diri, lelaki yang pelit berkata-kata dan semata-mata berharap pada kuasa takdir ini pergi menjemput pujaan hatinya. 

Tidak cukup sampai di sini, sang lelaki ini tidak mengakhiri riwayatnya di kampung halamannya. Ia meninggal di tengah keluarga besar istrinya, mereka yang menghormatinya sebagai seorang Jawa yang baik hati. 

"Bahkan sebelum meninggal, ia masih mengantarku pulang kepada keluarga besarku," kenang istrinya.

Cinta yang seperti ini adalah cinta yang gagah perkasa. Ia dilahirkan dari sebuah era yang tidak riuh oleh segala rupa drama produksi budaya tontonan. Ia adalah produk dari Perang Dingin yang melahirkan otoritarianisme baru di negeri-negeri Timur Jauh. 

Jelas melampaui segala macam kegigihan yang diperjuangkan anak-anaknya.

Pertanyaan kita, apakah cinta muda (dari generasi yang berkutat dengan sosial media sejak dari kamar tidurnya) menghadapi pasang surut hubungan asmara adalah hal yang remeh belaka?

Cinta dari Zaman yang "Sedikit Galau, Kebanyakan Status". Jika era yang serba aplikasi ini (termasuk aplikasi dating), mencintai memiliki tantangan melampaui atau tidak terjebak dalam hubungan-hubungan pertukaran (imej dan kesenangan) sebagaimana disinyalir Erich Fromm, maka mencintai dan bahagia adalah sejenis perjuangan jua. 

Sebab itu, cinta muda di era digital tetaplah perkara yang pelik. Dan, menabung bersama hanyalah sedikit saja usaha menghadapi pasang surut tersebut.

Angkatan sebelum hari ini mungkin akan mengatakan tindakan menabung bersama sepasang kekasih yang berencana menikah adalah pamali, sesuatu yang bukan saja tak lazim tapi sebaiknya tidak dilakukan. Pilihan sedemikian seolah-olah mendahului takdir. Musababnya adalah jodoh, rezeki, dan mati tidak di tangan manusia. 

Dan memang, jangankan menabung sejak jauh-jauh hari, ada peristiwa pernikahan yang batal dalam hitungan minggu. Ada juga rencana pernikahan yang berubah tragedi karena salah satunya menghabisi hidup calon teman hidupnya. 

Namun, itu tidak berarti bahwa usaha sungguh-sungguh dalam memperjuangkan jalan asmara anak-anak muda hari ini lantas berujung kegagalan adalah bagian dari melawan tabu; karena itu niscaya gagal.

Menabung bersama hanyalah bentuk simbolik dari kesungguhan tersebut. Kesungguhan untuk berbagi beban, selain pernyataan akan komitmen yang diperjuangkan. Di dalamnya, kita melihat jiwa muda yang bergulat. Jiwa yang berjuang meniti jalan takdirnya.

Jiwa yang seperti ini mungkin telah tumbuh dengan meninggalkan petuah-petuah lama. Tapi kerja keras mereka dalam menunaikan komitmen tetaplah nilai yang semestinya dihargai.

Di era post-facebook, kepribadian dengan tekad mencintai seperti ini adalah kehormatan, bukan?

Lantas, ketika semuanya gagal. Manakala tabungan bersama tidak cukup menjadi katup pengaman yang menjaga kelestarian hubungan, apa yang bisa dikatakan?

Patah hati adalah konsekuensi yang niscaya dari hidup yang terlanjur berharap dan bersandar. Karena itu mengulang anjuran usang: jangan jatuh cinta jika tak menginginkan sakit hati hanyalah nasehat yang buruk. Titik pelibatannya bukan lagi di sini.

Barangkali kita perlu melihat bagaimana cinta muda di era post-facebook yang patah seperti kawan saya di atas berjuang untuk sembuh, tumbuh dan tangguh. Karena itu, kita diminta mendengarkan, kurangi memberi anjuran atau sedikit saja menampilkan cerita-cerita yang menguatkan. 

Dan di ujung percakapan yang berusaha memulihkan itu, rasa-rasanya kita akan tiba pada kerendahatian. 

Bahwa manusia tidak pernah bisa mengendalikan seluruh akibat dari pilihan atau tindakannya, termasuk menabung bersama sebelum menikah. Agak berbau Stoik, tapi begitulah patah hati bekerja. Makin dipaksa, makin sengsaralah manusia.

Atau sekurang-kurangnya dengan kesadaran ini, cinta muda tidak serta merta merumuskan patah hatinya seolah-olah adonan yang serta merta menjadi kue karena menjalankan resep/tips tertentu. 

Sebab perkara yang begini tak bisa dilepaskan dari keberlangsungan eksistensial manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun