Namun, itu tidak berarti bahwa usaha sungguh-sungguh dalam memperjuangkan jalan asmara anak-anak muda hari ini lantas berujung kegagalan adalah bagian dari melawan tabu; karena itu niscaya gagal.
Menabung bersama hanyalah bentuk simbolik dari kesungguhan tersebut. Kesungguhan untuk berbagi beban, selain pernyataan akan komitmen yang diperjuangkan. Di dalamnya, kita melihat jiwa muda yang bergulat. Jiwa yang berjuang meniti jalan takdirnya.
Jiwa yang seperti ini mungkin telah tumbuh dengan meninggalkan petuah-petuah lama. Tapi kerja keras mereka dalam menunaikan komitmen tetaplah nilai yang semestinya dihargai.
Di era post-facebook, kepribadian dengan tekad mencintai seperti ini adalah kehormatan, bukan?
Lantas, ketika semuanya gagal. Manakala tabungan bersama tidak cukup menjadi katup pengaman yang menjaga kelestarian hubungan, apa yang bisa dikatakan?
Patah hati adalah konsekuensi yang niscaya dari hidup yang terlanjur berharap dan bersandar. Karena itu mengulang anjuran usang: jangan jatuh cinta jika tak menginginkan sakit hati hanyalah nasehat yang buruk. Titik pelibatannya bukan lagi di sini.
Barangkali kita perlu melihat bagaimana cinta muda di era post-facebook yang patah seperti kawan saya di atas berjuang untuk sembuh, tumbuh dan tangguh. Karena itu, kita diminta mendengarkan, kurangi memberi anjuran atau sedikit saja menampilkan cerita-cerita yang menguatkan.Â
Dan di ujung percakapan yang berusaha memulihkan itu, rasa-rasanya kita akan tiba pada kerendahatian.Â
Bahwa manusia tidak pernah bisa mengendalikan seluruh akibat dari pilihan atau tindakannya, termasuk menabung bersama sebelum menikah. Agak berbau Stoik, tapi begitulah patah hati bekerja. Makin dipaksa, makin sengsaralah manusia.
Atau sekurang-kurangnya dengan kesadaran ini, cinta muda tidak serta merta merumuskan patah hatinya seolah-olah adonan yang serta merta menjadi kue karena menjalankan resep/tips tertentu.Â
Sebab perkara yang begini tak bisa dilepaskan dari keberlangsungan eksistensial manusia.