Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

"Katarsis" Memang Beda!

6 April 2023   11:52 Diperbarui: 8 April 2023   03:04 832
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Katarsis" | Screenplay Films via Wikipedia

The universal language is not music, or love. It's loneliness -Anonymous 

Tara dan Ello di tengah hutan yang lembab saling mengirimkan tusukan ke tubuh masing-masing. Tara menggunakan ujung pena, sedang Ello dengan pisau. Darah berceceran kemana-mana dan sepasang kekasih ini baru berhenti ketika kelelahan tiba.

Adegan sadis itu menjadi penutup dari series Katarsis yang tayang di Vidio sejak tanggal 16 Februari 2023. Dibintangi nama-nama top, seperti Pevita Pearce (Tara Johandi), Revaldo (Marcello Ponti), Slamet Raharjo (Herumanto Sulaiman, ayah Ello), Prisia Nasution (Jenny Gideon), Bront Palarea (Dokter Alfons), dan lain-lain, series ini sungguh-sungguh menghadirkan pengalaman yang berbeda.

Pengalaman berbeda seperti apa yang bisa dijadikan ukuran untuk series yang diproduksi oleh Screenplay Films ini?

Pertama, sensasi pembuka di The Girl in the Box. Series yang ceritanya bersumber dari novel berjudul sama ini dibuka dengan adegan pembunuhan keluarga yang tidak biasa. Ketidakbiasaan itu bukan bagaimana pembunuhan itu terjadi namun bagaimana pembunuhan itu dikemas ulang.

Sebuah ruang tamu, foto penghuninya yang merupakan sepasang suami istri, lantas tubuh sang suami yang terduduk bersimbah darah, dan serombongan pasukan dengan peralatan lengkap seolah satuan antiteror menerobos masuk. Sedang tubuh si istri tertelungkup bermandi darah segar di depan pintu dapur yang tersambung dengan ruang keluarga. Peti yang tergembok itu kemudian dibuka, seorang gadis berkepang dua berlumur darah meringkuk di dalamnya.

Yang menganggu dari adegan ini bukanlah tubuh yang berdarah-darah, peti atau satuan antiteror sebagai pesan dari kengerian yang tak biasa. Tapi musik latarnya (backsound). Lagu berjudul Pretty Girl with a Funny Smile yang berirama lambat dengan vokal yang berat membuat nuansanya terasa antik. Pembunuhan sadis tersebut seolah-olah musik dari suara batin yang tenang, tidak terburu-buru.

Kita seperti dibawa kedalam film Quentin Tarantino. Kesan pertama ini yang tak biasa untuk series produksi nasional ini adalah pemikat yang tepat. Setelah diricek, wajar saja berbeda. Si penata musiknya adalah Elwin Hendrijanto. Sosok yang mengarsiteki musik Asian Games 2018.

"Katarsis" | Screenplay Films via Wikipedia

Kedua, pembunuhan sadis yang menghabisi keluarga Johandi adalah semacam pembuka "kotak pandora". Di dalam sana, tersimpan arsip kisah pembunuh berantai yang bertahun-tahun lamanya tetap menjadi misteri masyarakat Jakarta. Riwayat tersebut dikenal dengan "pembunuh peti". Tapi ini baru satu misteri.

Dari tragedi di rumah Johandi, sosok Tara mulai diperkenalkan. Semua tampilan fisiknya yang terlihat lugu, rapuh, korban, dan cantik membuatnya lebih berstatus sebagai pribadi yang mesti dilindungi seluruh penghuni dunia. 

Namun ternyata jejak-jejak penderitaaanya yang kelam dan panjang menyembunyikan pemikiran yang tak terduga perihal tindakan bunuh diri, dendam dan hidup yang tidak bermakna. 

Sejak usia yang sangat dini, ia sudah melihat kedua orangtua kandungnya mati terbakar. Sesudah diadopsi pasangan Johandi, ia malah mengalami serentetan kekerasan yang membuatnya kehilangan sensitivitas sosial dan empati. 

Ketiga, dunia Tara yang kelam barulah satu poros. Di poros yang sama kelamnya, seorang pemuda terobsesi meneruskan jejak ayahnya. Pemuda itu adalah Ello. Ello adalah salesman apartemen dengan sehari-hari yang tidak pernah berpindah dari pesta, minuman keras dan sex bebas. Namun hidup yang rock n roll tidak lebih dari kedok sosial. 

Sebab Ello adalah anak semata wayang Herumanto Sulaiman; si pembunuh peti yang legendaris. Dia selalu ingin meniru jejak ayahnya yang terus saja memandang kemampuannya dengan sebelah mata. 

Karena itu, Herumanto Sulaiman telah menjadi figur yang "ambivalen" bagi dirinya; sosok yang dibenci sekaligus dicintainya.

Tara dan Ello adalah keterwakilan dari jiwa-jiwa yang rusak. Mereka menderita oleh perlakukan yang kejam dari lingkungan yang semestinya mengasihi atau mewarisi DNA seorang psikopat yang menikmati membunuh seperti kegiatan memancing yang hening.

Keempat, dunia Jenny Gideon, detektif polisi yang sejak awal mencurigai kejanggalan dari narasi kembalinya pembunuh peti yang legendaris. Induksinya yang tajam selalu bertumbukan dengan otoritas kaku sang komandan (Gilbert Pattiruhu). Si komandan adalah aktor yang gagal mengungkap siapa sesungguhnya si pembunuh peti. 

Jenny yang bekerja keras memiliki suami yang setia. Setidaknya selalu ada di rumah ketika dia baru pulang menjelang dini hari. Namun Jenny memilih memelihara affair dengan komandannya. Jenny adalah perempuan dengan kompetensi kerja seorang detektif yang baik namun dengan moralitas seorang istri yang buruk. 

Tapi kontradiksi-dalam-peran perempuan tidak semata melekat pada Jenny. Ratna, mentor Tara di perpustakaan adalah ekspresi pilihan perempuan yang melampaui norma-norma umum. Ratna mengasuh tiga anak dari tiga suami berbeda, yang datang kedalam hidupnya, bercinta, beranak, dan kabur begitu saja. 

Keluarga dan seksualitas adalah dua perkara yang membuat Ratna selalu berdiri di batas yang "menolak dikerangkeng" karena dalih demi kebahagiaan dan keutuhan. Dua perkara yang seringkali berseberangkan antara normativitas umum dan fakta sosiologisnya. 

Dan, kelima, dunia dokter Alfons, psikolog yang menjadi terapis Tara. Alfons hidup dengan endapan perasaan kehilangan yang tak ada ujung. 

Di masa lalu, ia pernah mengobati perempuan yang sangat dicintainya. Tapi perempuan itu bunuh diri dan Alfons bertemu Tara yang menjadikan dukanya bergolak kembali. Alfons jatuh cinta kepada Tara, ia melanggar lagi etik profesionalitasnya, dan terjebak dalam perasaan sebagai dokter atau kekasih yang tak dianggap.

Dari dunia yang berupa-rupa ini, apa yang dikerjakan Katarsis untuk menghadirkan pengalaman berbeda menikmati serial hingga 10 episode?

Karena Katarsis mampu mengorganisir pertemuan kelima dunia atau para subyek dengan dunianya yang secara moral bertabrakan dengan yang tertib, yang normal, yang "moral lantas berkembang menjadi panggung dari usaha manusia menyelamatkan cinta kepada hidup (eros) atau justru kehendak kepada kematian (thanatos). 

Dalam keterbatasan saya, pergulatan seperti ini jelas membutuhkan keberanian untuk masuk pada tema/ide cerita yang jarang-jarang digarap sebagai tontonan komersil. Apalagi, tentu saja, di tengah budaya sinetron yang nyaris tanpa jemu memposisikan konflik kedalam dua kutub belaka. Budaya sinetron di tengah masyarakat yang terlalu religius (?). 

Katarsis yang disutradarai seorang debutan bernama Randolph Zaini juga berhasil menjaga ritme dan eskalasi. Sehingga penonton tidak terburu-buru tiba pada akhir yang dramatik, vulgar, tapi malah terasa hambar atau dipaksakan. 

Katarsis cukup sabar menuntun penonton menyelami dunia dalam masing-masing subyek itu, terutama Tara dan Ello. Menyelami momen-momen di mana mereka menjadi karakter yang terus berkembang. 

FYI, walau berstatus debutan, Randolph Zaini bukanlah sosok sembarangan. Mengutip Wikipedia, film pertamanya, Preman (Silent Fury, 2021) berhasil berhasil terpilih untuk ditayangkan di Festival Film Internasional Seattle 2021 2] dan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival dalam program Indonesian Screen Awards pada 30 November 2021. 

Latar belakang filsafat dan teori film yang dimiliki sang sutradara membuat Kataris memang kental dengan dialog-dialog yang filosofis. Salah satunya dalam diskusi di antara Paula dan Tara di atap rumah sakit sebelum Paula terjun bebas dan berakhir dengan kepala yang pecah. 

Eksplorasinya terhadap kepribadian yang dibentuk dari kekerasan, trauma dan dendam, serta pembunuhan dan kebutuhan akan rekognisi seperti Ello mengingatkan pada karakter Joe Goldberg di series You yang obsesif,dingin dan sadis. Dengan korbannya wanita-wanita cantik.

Sedang dalam sosok Tara Johandi sendiri, saya diingatkan pada sosok suster Mildred Ratched (pernah dibahas di "Dunia Mildred Ratched": Rasa Sakit, Dendam, dan Perempuan), yang juga mengalami tragedi anak-anak yang diadopsi. Memiliki keluarga tidak selalu berarti memiliki tempat yang menjamin anak-anak tumbuh dengan kasih sayang yang cukup.

Karena itu, dari series Katarsis, saya kira, kita tidak sekadar menikmati drama psikologi yang kelam. Katarsis mengajak kita mendengar "suara yang berbeda". 

Rasanya, kita membutuhkan lebih banyak yang seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun