Sekolah telah menjadi agama dunia bagi kaum proletar modern, dan membuat janji keselamatan bagi kaum miskin di abad teknologi ini sebagai sebuah janji yang sia-sia - Ivan Illich, Deschooling Society, 1971.
Mengutip dari Detik, peraturan memulai sekolah sejak pukul 5 subuh sudah berjalan di 5 SMA dan 5 SMK di Nusa Tenggara Timur (NTT). Semuanya memang berstatus sekolah negeri. Peraturan yang bercita-cita menegakkan disiplin dan etos kerja di tengah dunia serba digital tak pelak menuai protes dari banyak arah.Â
Satu protes utama terhadap peraturan tersebut adalah tidak mempertimbangkan aspek perlindungan terhadap anak.Â
Sebagaimana dirangkum dari Tirto, dampak dari aturan tersebut dapat mengganggu kesehatan peserta didik karena kurang tidur, dampak keselataman dan keamanan diri, dampak mental-psikologis serta dampak terhadap kualitas pembelajaran.
Pendek kata, serangan kritik "hak anak" pada dasarnya menyerang ke jantung argumen pemerintah NTT yang menjadikan kedisiplinan sebagai alasan dari keluarnya aturan tersebut. Mungkinkah membicarakan disiplin yang membaik di tengah peserta didik yang kurang tidur dan emosional?
Walau sarat suara sumbang, peraturan ini bukan tanpa dukungan pemerintah nasional. Sekurangnya datang dari selevel Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Sang menteri meminta agar masyarakat mempercayakan keputusan Gubernur NTT tersebut.
Sesudah serangkaian protes, aturan yang sempat menyibukkan percakapan publik digital itu direvisi.Â
Seperti yang diberikan Tirto: Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT Linus Lusi mengatakan jam masuk sekolah mulai 05.00 WITA berlaku untuk siswa kelas XII yang berdasarkan pada perjanjian kinerja antara kepala sekolah dengan Kadis Pendidikan dan Kebudayaan NTT. Linus Lusi menjelaskan setelah adanya pro kontra di masyarakat, pemerintah NTT memberlakukan jam masuk sekolah menjadi pukul 05.30 WITA dari sebelumnya pukul 05.00 WITA.
Revisi atas aturan tersebut tidak lantas menggugurkan argumen utamanya. Bahwa dengan masuk lebih pagi, kedisiplinan dan etos kerja dibayangkan akan lebih membaik bagi peserta didik. Dan, satu hal yang sama pentingnya, sekolah adalah perangkat kunci yang bekerja mewujudkan cita-cita ini.
Negara Hadir, Sekolah dan Kepengaturan. Apa yang dikerjakan pemerintah daerah (baca: negara) di Nusa Tenggara Timur terhadap kedisiplinan siswa dengan mewajibkan masuk sekolah sejak pukul 05.00 menampilkan hasrat yang tidak bisa dipandang sepele.Â
Hasrat tersebut bukanlah pada problem etos kerja dan kedsiplinan peserta didik. Atau karena, mengutip pernyataan Menko Muhadjir Effendy , "Pak Gubernur kan orang pekerja keras dan punya kemauan betul untuk memajukan rakyatnya di NTT, terutama para generasi mudanya. Pasti beliau sangat bijak nanti akan mengambil keputusan. Kita tunggu saja."
Hasrat tersebut bisa disebut sebagai mekanisme "kepengaturan" (govermentality) dari tradisi Foucaltian.Â
Sebuah mekanisme pendisiplinan, penataan, pengawasan dan pencapaian tujuan yang dikehendaki oleh negara. Karenanya ia mengorganisir praktik, mentalitas, perilaku, cara berpikir, dan celakanya, dalam mekanisme seperti ini, ia berkecenderungan menuju total.
Karena gairah negara pada totalitas itu, kita sebaiknya berdiri dari arah sebaliknya.Â
Pasalnya adalah kepengaturan menyamarkan dirinya secara lembut dalam klaim politik-konstitusional yang sering disebut sebagai kehadiran negara atau negara yang hadir. Negara hadir selalu merwujud multi-kamuflase, mungkin selalu berusaha terlihat manis namun memelihara kebengisan tertentu, misalnya.Â
Dalam bahasa pembangunan, negara hadir bisa berarti sebagai pemimpin perang melawan stunting hingga melawan terorisme. Negara yang hadir dapat pula berjudul dia yang memimpin perang melawan hoaks hingga melawan jaringan narkoba.Â
Di saat ia melawan stunting, ia mendorong sistem pangan yang bergantung pada impor komoditas dan mengeliminasi keanekaragaman sumber-sumber lokal. Ketika mendorong perang melawan terorisme di saat bersamaan ia menampilkan wajah state-terrorism atas nama keutuhan dan kesatuan nasional.Â
Anda bisa mendaftar sendiri contoh yang mengaitkan perang melawan hoaks dan jaringan narkoba.Â
Bahkan, yang lebih ideologis lagi, negara yang hadir adalah yang mendefinisikan masa depan seperti apa dan bagaimana sistem pendidikan diarahkan ke sana, ekosistem sekolah dikondisikan menuju arah yang sama.
Dalam kompleksitas di atas, kita bisa melihat bukan saja betapa sentralnya kehadiran negara, tapi dalam sentralismenya, selalu terjadi hukum: penegasan superioritasnya. Uang, informasi, birokrasi, kewenangan dan aparatur ada padanya. Sebab itu juga, dalam rangka itu, sekolah hanyalah unit kecil dalam tindakan kepengaturan yang dikerjakan negara.Â
Lantas, bagaimana melihat keberadaan sekolah dalam jaringan di atas?
Mengunjungi Kritik Ivan Illich. Kita sepertinya perlu kembali kepada pemikiran Ivan Illich (1926-2002) yang sudah ditulisnya tahun 1971. Dalam bukunya, Deschooling Society atau Bebaskan Masyarakat Dari Belenggu Sekolah (Yayasan Obor, 1982), Illich menyampaikan kritik yang tajam terhadap sekolah. Dimulai dengan membongkar sesat berpikir yang menyelubungi sistem sekolah.
Tapi artikel ini tidak akan menyoroti keseluruhan pemikiran yang terkandung dalam tujub bab tersebut. Artikel ini hanya mengambil kritiknya yang termuat pada bab pembuka yang berjudul Mengapa Sekolah Harus Dilucuti dari Kemapanannya? Hanya satu saja.
Pemikir kritis yang wafat di tahun 2002 mengatakan jika sentralisme fungsi sekolah di masyarakat adalah bagian dari perkembangan modern. Perkembangan masyarakat modern yang disebut juga dengan "modernised misery" adalah pertanda dari degradasi global yang menyasar tiga aspek dasar, yaitu polusi fisik, polarisasi sosial dan ketidakberdayaan psikologis.Â
Bagi Illich, proses degradasi ini berlangsung semakin cepat ketika kebutuhan-kebutuhan non-material diubah menjadi permintaan akan barang; ketika kesehatan, pendidikan, mobilitas pribadi, kesejahteraan, atau penyembuhan psikologis dilihat sebagai hasil dari jasa atau "pelayanan" (hal 2).
Argumentasi di atas mengungkapkan kondisi komodifikasi hubungan sosial yang makin luas, kalau bukan serba meliputi yang sudah diperingatkan Karl Marx (1818-1883). Kritik terhadap komodifikasi ini belakangan disampaikan lagi oleh sosiologi seperti George Ritzer yang dikenal dengan "mcdonaldisasi masyarakat" (1999).Â
Mcdonaldisasi dapat dimengerti sebagai suatu perkembangan birokrasi, ekonomi dan sosial dimana prinsip-pripsip yang bekerja di dalam gerai fast-food Mcdonald mengalami perluasaan dan pendalaman.Â
Prinsip-prinsip tersebut berakar pada jenis rasionalisme instrumental, yang juga menghidupi kapitalisme. Keempat prinsip tersebut adalah efisiensi, efektivititas, kontrol dan keuntungan.
Di tengah gurita komodifikasi ini, bagaimanakah sekolah dimengerti dan berfungsi?
Bagi Ivan Illich, kesalahan paradigmatik pertama masyarakat dengan kesengsaraan yang termodernisasi ialah sekolah terlanjur dimaknai sebagai satu-satunya lembaga pendidikan.  Baik yang kaya maupun yang miskin, keduanya terbebani dengan status sekolah yang "hegemonik" seperti ini. Â
Dalam bahasa Illich, bagi kedua kelompok ini ketergantungan pada layanan lembaga (sekolah) membuat mereka jadi sangsi akan kemampuan mereka menyelesaikan urusan mereka sendiri. Bahkan, seperti kutipan dalam pembuka artikel ini, sekolah telah menjadi agama dunia bagi kaum proletar modern, dan membuat janji keselamatan bagi kaum miskin di abad teknologi ini sebagai sebuah janji yang sia-sia.
Sekolah seolah-olah mengambil semua fungsi atau diletakkan sebagai institusi paling efektif dalam membentuk generasi muda yang dibayangkan oleh negara, entah di pusat atau di daerah. Dalam rangka ini, mekanisme kepengaturan dirumuskan.
Dampaknya, bagi kita sebagai bagian dari ekosistem sekolah, kehilangan imajinasi masa depan di luar yang dititipkan oleh sekolah--itu berarti hingga ke perguruan tinggi. Termasuk di dalamnya adalah kehilangan gairah akan kemandirian dan keserbamungkinan mimpi-mimpi yang non-sekolah.
Illich mengatakan, sekolah menyedot uang, tenaga dan kemauan baik yang disediakan untuk pendidikan. Selain itu, sekolah membuat lembaga-lembaga lain tidak bergairah menjalankan tugas mendidik anak (hal 10).
Jadi terkait polemik masuk sekolah jam 5 pagi untuk pelajar setingkat SMA dan SMK di NTT, Ivan Illich telah mengingatkan sejak setengah abad yang lalu. Dari konteks tersebut, kita selalu harus menaruh kewaspadaan bahwa sekolah bukanlah institusi yang netral dan serta-merta berfungsi sebagaimana yang dirumuskan (manifes) oleh negara.  Ada banyak sekali faktor yang berkontestasi di dalamnya.
Barangkali seperti ini dulu. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H