Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Stasiun Tugu di Subuh Hari

23 Desember 2022   08:45 Diperbarui: 28 Desember 2022   16:07 637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada akhirnya kami semua adalah permulaan- (Beranjak Dewasa-Nadin Amizah)

Di subuh pagi, Jogja barulah berwarna merah. Dua orang ibu terkantuk-kantuk dengan jajanan di bakulnya. Di bawah temaram kuning, di depan Stasiun Tugu. Saya terlalu dingin sehingga hanya bisa tersenyum. 

Seorang bapak datang dan memberitahukan jika dia bisa mengantar saya kemana saja. Tapi saya terlalu dingin, sehingga hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Seseorang yang lain melintas, mengejar kereta ke bandara, dan kita tidak saling menyapa.

Saya bisa saja turun di Stasiun Wates, karena hanya sekitar 2 kilometer dari rumah bapak. Namun Jogja di subuh hari selalu seperti misteri.  

Saya ingin melihat bagaimana ibu-ibu dengan bakul jajanannya, pengojek yang selalu bersemangat, atau tukang becak yang terkantuk-kantuk menunggu penumpang. Saya selalu ingin melihat yang tradisional tetap bertahan di bawah deru modernitas sejak subuh hari. Pernyataan demikian bisa jadi adalah semacam simplifikasi. 

Namun berkunjung ke Jogja dan mengetahui kontras ini selalu tersedia, atau, mencandrai Jogja sebagai pertemuan dua sisi yang selalu bergulat, adalah sejenis turisme yang gelisah bagi kepala yang datang dari sebelah Timur Nusantara. 

Pendek kata, datang untuk melihat dinamika urban yang berpusar dalam kecemasan dan pengharapan, dalam pewarisan dan perubahan. Kita tahu, di bawah matahari, tidak ada yang benar-benar total sebagaimana tidak ada yang secara total takluk.

***

Langit Fajar di Jogja | S Aji
Langit Fajar di Jogja | S Aji

Sebelum memastikan bahwa kereta jam 4 subuh yang ke bandara di Kulonprogo sudah berangkat, saya masih memilih duduk sebentar di peron. Tidak banyak orang sesubuh ini. 

Seorang perempuan, berambut sebahu dengan sweter hitam dan sepatu kets duduk sendirian di samping box charging dan menghadap gedung utama stasiun. Ia memegang gawai dan sesekali melihat sekitar, ia hanya sedang menunggu kereta.

Lalu datang serombongan kecil, seperti seorang ibu dengan 4 anaknya. Mereka terlihat bersemangat, berbicara dengan suara yang keras. Mungkin akan pergi berliburan dan merayakan Natal di sebuah tempat yang sudah lama direncanakan. Mereka duduk berhadapan dengan saya, hanya dipisahkan 3 deret bangku besi berwarna coklat kehitaman. 

Sedang di belakang, sepasang sejoli sedang terkantuk-kantuk. Yang perempuan tertidur di paha kekasihnya, bersama tumpukan jaket. Sedang lelaki memegang gawai dengan sesekali membelai rambut kekasihnya. Mereka mungkin baru saja jatuh cinta juga terlalu ngantuk.

Kemudian dua orang petugas berkemeja putih berjalan pelan. Semua orang menunggu kereta tiba. Orang-orang yang hanya singgah untuk selanjutnya pergi lagi.

Kereta akhirnya tiba. Kereta yang ke Surabaya. Orang-orang itu akhirnya berlalu. Kini tersisa saya dan peron yang kembali sepi. Rasa kantuk sudah menjerit-jerit tapi saya masih tidak ingin bergegas. 

Beberapa jam di belakang sana, saya masih terdiam melihat orang-orang bergerak di sekitar Stasiun Gambir. Melihat bagaimana orang-orang berjalan, duduk di depan Starbucks atau di dalam McD, ngobrol dan makan. Atau hanya duduk di bangku tunggu dan tidak kemana-mana lagi. Ada musik keroncong yang romantis, tapi di stasiun, semua musik hanya datang untuk kemudian pergi lagi.

Saya gagal merasa asing berada di tempat ini, seolah-olah tidak pernah kemana-mana sesudah beberapa tahun berlalu. Hanya waktu yang bergerak dan orang-orang berbeda yang keluar masuk. 

Stasiun ini dan bagaimana saya menghayatinya seolah kamera tua dengan rekaman gambar yang itu-itu saja. 

Tapi ada sebuah lagu lama. Kereta senja dari Jakarta, berhias temaram cahaya memerah. Yang aku rindu, benar-benar rindu. Barangkali karena ini, kita bisa melihat sesuatu yang lelah (dari Jakarta) tapi justru dengan begitu, ia membuat rindu terasa benar-benar butuh.

Rindu yang bergulat menantang Jakarta dan selalu ingin pulang.     

***  

Menjelang jam 5 pagi, saya memutuskan berjalan pelan menuju pintu keluar sebelah Selatan. Sebentar lagi akan ramai, para pemburu hari sebentar lagi bakal hilir mudik memenuhi tempat ini. 

Dalam langkah pelan-pelang, saya terbayang sebuah puisi yang pernah tayang di Kompasiana. Usianya kini sudah berumur 4 tahun.    

Yogya Sampai Kemarin - S Aji 
aku mengalami Yogya yang tumbuh dari buku,
percakapan-percakapan dan tanda tanya di setiap ceritanya

ada masa lalu tanpa pernah utuh,
masa depan berkejaran,
dari mereka yang tercerabut atau bertahan,

di antara sawah hijau, orang tua bersepeda,
pekerja muda memenuhi udara
dengan deru debu cita-cita.

di antara wangi gudeg di angkringan, musik pinggir jalan
lenguh becak serta orang-orang yang merasa
selalu jatuh cinta ketika singgah.

hingga kamu: di antara rindu bergairah,
pikiran-pikiran resah. dan kata-kata
yang menuliskan
sepinya sendiri-sendiri.

sampai kemarin, sampai nanti.
barangkali

(2018)

Setiap tempat adalah semesta yang bisa menjadi apa saja di kepala siapa saja, Jogja bukan satu-satunya. Namun bagaimana Jogja menjadi dalam sebuah puisi, itu tetap saja perkara yang mewah.

Selain kampung halaman almarhum Bapak, ada rindu memeluk ibu yang makin sepuh, itulah alasan yang membuat saya selalu ingin kembali.

Selamat datang akhir tahun.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun