Seorang perempuan, berambut sebahu dengan sweter hitam dan sepatu kets duduk sendirian di samping box charging dan menghadap gedung utama stasiun. Ia memegang gawai dan sesekali melihat sekitar, ia hanya sedang menunggu kereta.
Lalu datang serombongan kecil, seperti seorang ibu dengan 4 anaknya. Mereka terlihat bersemangat, berbicara dengan suara yang keras. Mungkin akan pergi berliburan dan merayakan Natal di sebuah tempat yang sudah lama direncanakan. Mereka duduk berhadapan dengan saya, hanya dipisahkan 3 deret bangku besi berwarna coklat kehitaman.Â
Sedang di belakang, sepasang sejoli sedang terkantuk-kantuk. Yang perempuan tertidur di paha kekasihnya, bersama tumpukan jaket. Sedang lelaki memegang gawai dengan sesekali membelai rambut kekasihnya. Mereka mungkin baru saja jatuh cinta juga terlalu ngantuk.
Kemudian dua orang petugas berkemeja putih berjalan pelan. Semua orang menunggu kereta tiba. Orang-orang yang hanya singgah untuk selanjutnya pergi lagi.
Kereta akhirnya tiba. Kereta yang ke Surabaya. Orang-orang itu akhirnya berlalu. Kini tersisa saya dan peron yang kembali sepi. Rasa kantuk sudah menjerit-jerit tapi saya masih tidak ingin bergegas.Â
Beberapa jam di belakang sana, saya masih terdiam melihat orang-orang bergerak di sekitar Stasiun Gambir. Melihat bagaimana orang-orang berjalan, duduk di depan Starbucks atau di dalam McD, ngobrol dan makan. Atau hanya duduk di bangku tunggu dan tidak kemana-mana lagi. Ada musik keroncong yang romantis, tapi di stasiun, semua musik hanya datang untuk kemudian pergi lagi.
Saya gagal merasa asing berada di tempat ini, seolah-olah tidak pernah kemana-mana sesudah beberapa tahun berlalu. Hanya waktu yang bergerak dan orang-orang berbeda yang keluar masuk.Â
Stasiun ini dan bagaimana saya menghayatinya seolah kamera tua dengan rekaman gambar yang itu-itu saja.Â
Tapi ada sebuah lagu lama. Kereta senja dari Jakarta, berhias temaram cahaya memerah. Yang aku rindu, benar-benar rindu. Barangkali karena ini, kita bisa melihat sesuatu yang lelah (dari Jakarta) tapi justru dengan begitu, ia membuat rindu terasa benar-benar butuh.
Rindu yang bergulat menantang Jakarta dan selalu ingin pulang. Â Â Â
*** Â