Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suatu Hari di antara Taman Menteng dan Gambir

20 Desember 2022   20:43 Diperbarui: 20 Desember 2022   22:07 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perempatan di pinggir Taman Menteng | S Aji

Waktu sudah menunjukan pukul 21.00 WIB. 

Saya baru saja menyelesaikan 5 jam penerbangan, dari Manokwari, singgah di Sorong. Lalu terbang lagi ke Makassar dan mendarat dengan perasaan yang bosan di Cengkareng. Saya telah terbang melintasi tiga zona waktu yang berbeda--dan tentu saja tidak ada yang spesial dari pengalaman ini.

Sebentar lagi laga Argentina dan Perancis dimulai. Ini sudah pukul 21.30, dan masih harus menuju Gambir dengan DAMRI.

Saya sudah duluan yakin jika Perancis akan gagal melakukan back-to-back alias juara dua piala dunia secara beruntun. Mereka mungkin punya Mbappe, tapi seorang Zidane yang ditemani Deschamps saja tidak selevel itu. 

Mereka melahirkan Varane atau Konate, tapi mesti ada selevel Lilian Thuram dan Marcel Desailly yang memastikan bahaya yang menyerang masih dalam kontrol.

Karena itu juga, saya tidak terkejut ketika Argentina bisa segera unggul dua gol. Hanya meragukan saja, untuk laga sepenting final, masa iya gak drama yang patut dikenang? 

Dan Mbappe membuktikan bahwa dialah yang terbaik dalam mengubah hasil pertandingan. Tapi tidak untuk mengubah takdir adu penalti. Karena itu juga, saya memilih tidur sesudah kedudukan 3:3. 

Didier Deschamps tidak akan membuat rekor baru: sebagai pemain dan pelatih yang bisa tiga kali juara piala dunia.

Lebih dari itu. Ini Jakarta, dan besok adalah senin. Bersama seorang kawan, kami menyepakati janji yang mesti dipenuhi pagi-pagi.

***

Perempatan di pinggir Taman Menteng | S Aji
Perempatan di pinggir Taman Menteng | S Aji

Jam 7 pagi, Jakarta selalu sebagai sirkulasi yang riuh. Manusia, kendaraan, beban, tekanan, angan-angan berikut ketabahan-ketabahan. 

Kami memilih menyusuri trotoar dari Ibis Budget ke jalan Maluku. Membawa tas panggul, bercelana lapangan, dengan langkah yang ingin segera janji itu rampung. Mengikuti panduan dari google maps, menyebrangi beberapa lampu merah, melintasi taman, mengikuti trotoar, tiba di halaman sebuah bank. Di seberangnya sebuah SPBU mulai padat antrian.

"Sarapan dulu, kayaknya," kata kawan saya.

Maka kami makan di semacam food court pinggir jalan. Sepagi ini, sudah tersedia soto mi Bogor dan gado-gado. Semua baru dimulai, hanya kami berdua di dalam ruang makan yang terbentuk dari deretan meja untuk empat orang.

Saya menyantap soto mi dengan mengenang beberapa pagi di sekitar kompleks jalan Danau Toba, Bogor Baru. Sesudah sedikit lari pagi mengelilingi kebun raya, sesekali diakhiri dengan menyantap mi kuah dengan campuran lumpia, potongan daging, juga tomat.

Beres sarapan, kami berbalik arah menuju jalan Maluku yang relatif lengang. Melintasi pinggiran rumah-rumah, berpagar tinggi, dengan mobil yang baru saja dicuci. Selama berjalan, saya ingat jika George Aditjondro pernah menyebut GAM. 

GAM adalah sebuah kompleks pemukiman yang menjadi tempat tinggal dari elite republik dan keturunannya; kompleks dimana "DNA elite" merestorasi dirinya--GENG ANAK MENTENG. Menteng yang rapi, lengang di hari senin, dan serupa oase di tengah gurun bernama ibukota negara kesatuan.

11.30, janji itu selesai. Kami berbalik ke Ibis, masih dengan menyusuri trotoar sambil bercakap-cakap perihal sejarah kecil yang dimulai dari Vogelklop, Papua Barat. 

"Langsung ke stasiun saja?" tanya saya. Kami hanya memiliki satu janji. Sisanya adalah membunuh waktu, menunggu Taksaka tiba. 

Masih ada 10 jam kedepan menunggu langit Jakarta ditutupi malam.

Taman Sempit di salah satu sudut Menteng | S Aji
Taman Sempit di salah satu sudut Menteng | S Aji

***

GAMBIR. Kita tidak boleh menghadapi 10 jam menunggu dengan pikiran yang sudah duluan tiba di Yogyakarta. Karena kita tidak akan memiliki cerita apa-apa. Maka, perhatikan saja sekitar.

Gambir masihlah etalese dari kesibukan. Orang-orang masuk dan keluar, selebihnya menunggu, makan, ngobrol atau menenangkan diri di depan layar gawai. Di halaman depan, di pintu masuk Selatan, deretan pria duduk di sebuah bangku panjang. Asap rokok mengepul di sela-sela percakapan mereka.

Saya mengajak kawan yang tidak banyak ke Jakarta atau lebih persisnya memberi sedikit bukti bahwa saya mengenali sudut-sudut Gambir sedikit lebih baik. Maksud saya, tempat ini tidak banyak berubah, seperti warnanya yang hijau. 

Kami terus duduk di sebuah kafe, di depan gerai kecil Starbucks dan McD. Kami duduk di lantai dua, di dalam ruangan No-smoking Area. Pengguna komuter mesti segera tahu tempat apa yang dimaksud. 

Oh ya, di suatu masa, sebelum pandemi, mungkin 2 atau 3 ke belakang, saya secara tak sengaja bertemu Prof. Pebrianov di sini. 

Kami ngobrol selayaknya dua kenalan yang baru bertatap muka sesudah interaksi komentar dan percakapan tidak pernah jelas arahnya di sebuah grup yang menampung gerombolan Kompasianer. Tapi yang lebih penting, beliau membayar semua yang saya pesan. 

Kali ini, kami juga memesan makan. Sesekali bercakap-cakap. Tapi saya selalu suka mengamati macam-macam manusia yang keluar masuk. 

Yang seperti pekerja kantoran, yang seperti turis, yang seperti model majalah sampul, hingga yang seperti saya sendiri: membawa tas besar, berkaos dengan celana banyak kantungnya, serta membiarkan kumis dan janggut menyempurnakan kesan seseorang yang datang dari pinggiran hutan.

Saya berpikir membuat video time-lapse. Saya ingin mengabadikan waktu yang bergeser dan orang-orang yang terus saja mengalir. Tapi kemudian dihapus. Saya mulai mengantuk dan tidak menemukan alasan yang jitu untuk menunggu. 

Indonesia memang makin penuh. Sejak transit di Sorong, lalu Makassar hingga duduk menunggu begini, tidak ada satupun manusia yang mengenal atau saya kenal, saya membatin sambil terkekeh sendiri. 

Jakarta sejak awal menyediakan dirinya untuk menampung segala rupa jenis manusia. Mereka kalah atau menang, silakan diperjuangkan takdirnya masing-masing. 

Saya tiba-tiba merasa Gambir seperti sebuah benteng yang dingin. Di balik pergerakan manusia yang tanpa putus itu, saya tidak berada dalam iramanya yang terburu-buru.

Gambir | S Aji
Gambir | S Aji
          

Waktu berangkat tinggal beberapa menit lagi. Kami sudah naik ke lantai dua ruang keberangkatan. Taksaka akan tiba di peron 2. 

Aryati, dikau mawar asuhan rembulan. Aryati, dikau gemilang seni pujaan. Dosakah hamba mimpi berkasih dengan tuan.

Mulanya saya pikir Aryati dinyanyikan dengan musik keroncong dari pengeras suara. Musik yang sama ketika kita tiba di stasiun Purwokerto, misalnya. Sementara di depan bangku duduk, deretan foto pejabat dan selebriti yang menggunakan kereta dipajang. 

Layanan kereta memang jauh lebih baik. Saya bilang ke kawan tersebut, "Pernah di suatu masa, dengan kereta bisnis, saya diturunkan di tempat yang stasiunnya tidak disinggahi." 

Aryatiiii..

Saya memilih berjalan memutari ruang tunggu, barangkali bertemu seseorang yang pernah dikenal. Ternyata hanya ada grup kecil bapak-bapak pemusik keroncong yang "live music". Saya mengeluarkan handphone. 

Akhirnya ada peristiwa yang layak dividiokan, pikir saya. Sesudah Aryati selesai, saya memberi 10 ribu di kotak yang terbuka di depan mereka. Saya berjalan lagi, hendak berbalik. 

Sewu kuto wis tak liwati...sewu ati tak takoni..

Irama keroncong membuat tembang milik Didi Kempot terasa begitu lirih, tenang tapi pedih. Tiba-tiba teduh, seolah-olah tidak ada yang bisa dipegang dari hari ini.

Tak lama lagi, saya bakalan menjumpai subuh di Yogyakarta. Saya tidak kemana-mana, tidak lebih jauh dari Menteng dan Gambir, tapi terasa semuanya begitu lelah. 

Argentina memang baru saja juara. Tapi cerita begini tetaplah milik jelata yang sama, seperti 14 tahun di belakang sana.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun