Indonesia memang makin penuh. Sejak transit di Sorong, lalu Makassar hingga duduk menunggu begini, tidak ada satupun manusia yang mengenal atau saya kenal, saya membatin sambil terkekeh sendiri.Â
Jakarta sejak awal menyediakan dirinya untuk menampung segala rupa jenis manusia. Mereka kalah atau menang, silakan diperjuangkan takdirnya masing-masing.Â
Saya tiba-tiba merasa Gambir seperti sebuah benteng yang dingin. Di balik pergerakan manusia yang tanpa putus itu, saya tidak berada dalam iramanya yang terburu-buru.
     Â
Waktu berangkat tinggal beberapa menit lagi. Kami sudah naik ke lantai dua ruang keberangkatan. Taksaka akan tiba di peron 2.Â
Aryati, dikau mawar asuhan rembulan. Aryati, dikau gemilang seni pujaan. Dosakah hamba mimpi berkasih dengan tuan.
Mulanya saya pikir Aryati dinyanyikan dengan musik keroncong dari pengeras suara. Musik yang sama ketika kita tiba di stasiun Purwokerto, misalnya. Sementara di depan bangku duduk, deretan foto pejabat dan selebriti yang menggunakan kereta dipajang.Â
Layanan kereta memang jauh lebih baik. Saya bilang ke kawan tersebut, "Pernah di suatu masa, dengan kereta bisnis, saya diturunkan di tempat yang stasiunnya tidak disinggahi."Â
Aryatiiii..
Saya memilih berjalan memutari ruang tunggu, barangkali bertemu seseorang yang pernah dikenal. Ternyata hanya ada grup kecil bapak-bapak pemusik keroncong yang "live music". Saya mengeluarkan handphone.Â
Akhirnya ada peristiwa yang layak dividiokan, pikir saya. Sesudah Aryati selesai, saya memberi 10 ribu di kotak yang terbuka di depan mereka. Saya berjalan lagi, hendak berbalik.Â