Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Suatu Hari di antara Taman Menteng dan Gambir

20 Desember 2022   20:43 Diperbarui: 20 Desember 2022   22:07 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempatan di pinggir Taman Menteng | S Aji
Perempatan di pinggir Taman Menteng | S Aji

Jam 7 pagi, Jakarta selalu sebagai sirkulasi yang riuh. Manusia, kendaraan, beban, tekanan, angan-angan berikut ketabahan-ketabahan. 

Kami memilih menyusuri trotoar dari Ibis Budget ke jalan Maluku. Membawa tas panggul, bercelana lapangan, dengan langkah yang ingin segera janji itu rampung. Mengikuti panduan dari google maps, menyebrangi beberapa lampu merah, melintasi taman, mengikuti trotoar, tiba di halaman sebuah bank. Di seberangnya sebuah SPBU mulai padat antrian.

"Sarapan dulu, kayaknya," kata kawan saya.

Maka kami makan di semacam food court pinggir jalan. Sepagi ini, sudah tersedia soto mi Bogor dan gado-gado. Semua baru dimulai, hanya kami berdua di dalam ruang makan yang terbentuk dari deretan meja untuk empat orang.

Saya menyantap soto mi dengan mengenang beberapa pagi di sekitar kompleks jalan Danau Toba, Bogor Baru. Sesudah sedikit lari pagi mengelilingi kebun raya, sesekali diakhiri dengan menyantap mi kuah dengan campuran lumpia, potongan daging, juga tomat.

Beres sarapan, kami berbalik arah menuju jalan Maluku yang relatif lengang. Melintasi pinggiran rumah-rumah, berpagar tinggi, dengan mobil yang baru saja dicuci. Selama berjalan, saya ingat jika George Aditjondro pernah menyebut GAM. 

GAM adalah sebuah kompleks pemukiman yang menjadi tempat tinggal dari elite republik dan keturunannya; kompleks dimana "DNA elite" merestorasi dirinya--GENG ANAK MENTENG. Menteng yang rapi, lengang di hari senin, dan serupa oase di tengah gurun bernama ibukota negara kesatuan.

11.30, janji itu selesai. Kami berbalik ke Ibis, masih dengan menyusuri trotoar sambil bercakap-cakap perihal sejarah kecil yang dimulai dari Vogelklop, Papua Barat. 

"Langsung ke stasiun saja?" tanya saya. Kami hanya memiliki satu janji. Sisanya adalah membunuh waktu, menunggu Taksaka tiba. 

Masih ada 10 jam kedepan menunggu langit Jakarta ditutupi malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun