Hajime Moriyasu yang membungkuk, dunia yang meleleh.Â
Jepang adalah teladan di sepak bola dunia, tak semata Asia. Bersama Korea Selatan, keduanya adalah negara Asia pertama yang menjadi tuan rumah piala dunia di tahun 2002. Korea Selatan yang dilatih meneer Guus Hiddink bahkan berhasil mencapai semifinal.
Kehadiran Negeri Samurai di piala dunia memang masih kalah banyak dari Korea Selatan. Akan tetapi sejak keikutsertaan pertama kali di tahun 1998, mereka tidak pernah absen hingga piala dunia Qatar 2022. Jepang mencapai ini sesudah memiliki "Rencana 100 Tahun".Â
Dalam Visi 100 Tahun yang dimulai sejak 1992, Jepang bercita-cita melahirkan 100 klub profesional. Jepang juga berkehendak menjuarai piala dunia di tahun 2092. Sejak ambisi itu ditetapkan, sepak bola Jepang terus berkembang menjadi sepak bola modern yang menjuarai Asia.Â
Ambisi ini dimulai dengan mengelola kompetisi yang modern. Mengutip artikel Belajar Merencanakan Pembangungan Sepakbola dari Visi 100 Tahun Sepakbola Jepang di Pandit Football. Â
Masuk tahun 1991, di bulan Februari, diumumkan bahwa akan ada 10 klub yang bertanding di liga profesional yang dimaksud. Di bulan Juli 1991, nama "J-League" diumumkan secara resmi. J-League didirikan sebagai badan hukum pada November 1991. Tahun 1992 menjadi gong awal bagaimana sepakbola Jepang bangkit. Di tahun tersebut Jepang menjadi tuan rumah Piala Asia 1992 dan meraih gelar juara untuk pertama kalinya.
Tahun 1993 lah awal peradaban baru kompetisi sepakbola Jepang dimulai. Musim pertama J-League digelar dan dibuka pada tanggal 15 Mei 1993 oleh pertandingan antara Kawasaki Verdy melawan Yokohama Marinos.
Sejak hari itu, kita terus melihat sepak bola Jepang yang terus tumbuh menjadi raksasa Asia. Mereka tidak bekerja untuk visi pendek. Mereka tidak mengejar kejayaan untuk klaim-klaim sukses yang kecil.Â
Mereka juga menciptakan bintang yang bukan saja dihormati di Asia. Mungkin kita bisa mulai dengan menyebut nama Kazuyoshi Miura alias "King Kazu". Di zamannya, King Kazu adalah kisah sukses pesepakbola Asia yang sering menjadi berita olah raga nasional, khususnya Tabloid Bola.
King Kazu lahir 26 Februari 1967 dan hingga kini masih bermain di kompetisi profesional Jepang. Dengan usia 55 tahun, King Kazu adalah pemain sepakbola tertua di muka bumi.
Selain King Kazu, teringatlah kita pada sosok Hidetoshi Nakata. Nakata datang ke Italia dan bergabung dengan Perugia, klub spesialis pejuang degradasi sesudah piala dunia 1998. Saat partai pembuka, Perugia melawan Juventus dengan Del Piero, Zidane, dan Pipo Inzaghi yang masih segar-segarnya. Termasuk Deschamps yang sekarang melatih Perancis.
Perugia akhirnya kalah tapi Nakata menciptakan brace. Nakata berhasil juara Serie A bersama AS Roma di tahun 2001, dimana dia bermain bersama Totti dan Batistuta. Nakata menghabiskan 7 musim di Italia dan menjadi salah satu yang dpilih Pele dalam daftar 100 pemain top FIFA di tahun 2004. Bersama tim nasional, Nakata sudah bermain di tiga edisi piala dunia yaitu 1998, 2002, dan 2006. Â
Sesudah era-Nakata, Jepang tidak berhenti mengirim bakat-bakatnya bermain di liga Eropa. Mereka menyebar di Jerman, Inggris, Spanyol, Italia hingga Skotlandia dan Perancis. Di Qatar kali ini, para pemain dari liga Jerman, Inggris, Spanyol hingga Skotlandia dipanggil. Setidaknya mereka bermain 12 klub berbeda di liga Eropa.
Kejutan Qatar 2022
Jepang memang bukan satu-satunya Asia yang membuat kejutan. Tapi jika melihat kerasnya persaingan di level grup, keberhasilan Jepang menjadi juara grup dengan mengalahkan Jerman dan Spanyol adalah kejutan terbaik dari wakil Asia.Â
Lebih menarik lagi, ketika menekuk raksasa berwujud Jerman dan Spanyol, mereka melakukannya melalui aksi pembalasan. Kebobolan lebih dulu tidak menjadikan mental mereka inferior lantas kehilangan bentuknya.Â
Hajime Moriyasu juga membuat Jepang tetap bermain sebagaimana ciri yang dikenal selama ini, bermain operan pendek dan pergerakan yang cepat, terutama dalam mengeksekusi counter-attack. Seolah-olah samurai itu sendiri: fokus, lincah, mematikan.
Jepang telah menunjukan bagaimana bermain dengan identitas yang dipertahankan bertahun-tahun. Kejeliaan Jepang adalah mengeksploitasi "titik achilles" yang menganga di Jerman dan Spanyol. Dua juara Eropa ini keasikan menampilkan dominasi dengan transisi bertahan yang buruk.Â
Berbeda dengan Luka Modric, dkk. Semifinalis 2018 ini selalu bermain tanpa peragaan penguasaan bola yang selalu unggul. Demikian halnya saat melawan Jepang, ball possession-nya relatif imbang.Â
Mengutip Whoscored, Kroasia cuma unggul tipis dalam jumlah total operan sebanyak 725 kali dengan operan akurat sebanyak 608 kali berbanding 394 kali milik Jepang. Keduanya juga imbang dalam mengoleksi shots on goal.
Dalam permainan sepakbola yang seimbang hingga perpanjangan waktu berakhir, mentalitas adalah kuncinya.Â
Mentalitas menghadapi adu penalti sepertinya belum cukup dimiliki para pemain Samurai Biru. Statistik sepanjang laga tidak lagi bisa dijadikan acuan. Jepang akhirnya balik kanan dengan kepala yang tegak.Â
Tapi tak ada yang membantah jika di piala dunia Qatar, Samurai Biru adalah sebaik-baiknya Asia di hadapan raksasa-raksasa Eropa dan Amerika Latin.Â
Dan Jepang, sekali lagi, adalah pencapaian fenomenal sepakbola yang dicapai karena dirancang. Jalan sukses mereka telah ditetapkan secara sengaja. Mereka mendesain sistem yang merealisasi visi 100 tahun.Â
Jepang yang menolak musnah sesudah perang dunia kedua. Yang memilih jalan modern versi penemuan Asia sejak zaman Meiji.
Ambisi negeri ini sebagai salah satu adidaya di dunia tidak berhenti pada kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi (berikut patologi sosial yang menyertainya). Jepang juga menjadikan dirinya adidaya di sepakbola. Kalau sekadar juara Asia, sudah lama dilampauinya.Â
Mungkin karena itu, ketika Hajime Moriyasu membungkuk sebagai pertanda permintaan maaf dan berterimakasih kepada para pendukung (khususnya yang datang dari Jepang), kita bisa menghayatinya sebagai sikap penghormatan yang mengharukan.Â
Hajime Moriyasu telah meletakkan para pendukung sebagai tuan, sebagai tanah air yang dibelanya.Â
Karena itu, ketika sepakbola mengutus Anda mewakili sebuah negeri, Anda sedang bekerja demi patriotisme yang tidak selalu mudah diemban. Apalagi di sebuah lapangan, sebagai kesebelasan, dengan wasit, pengawsan VAR, dan tribun penuh pendukung.Â
Anda dituntut menang tapi bukan dengan mengokang senjata, menembakan meriam; tidak dengan menjadi pembunuh keji atas nama membela kedaulatan. Anda boleh kalah sesudah pantang menyerah.
Kita yang cuma bisa mendukung memang tidak akan pernah merasakan apa yang dikatakan Diego Armando Maradona, "To see my country lose a football match is very hard for someone who has worn the shirt."
Tapi kita seharusnya bisa menikmati sepakbola adalah manifestasi dari kerja-kerja patriotik yang tetap sportif. Termasuk ketika ia bekerja memelihara perdamaian dan kegembiraan anak manusia.Â
Kita tetap sesama manusia bersaudara dalam pertunjukan patriotisme yang sportif itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI