Tapi tak ada yang membantah jika di piala dunia Qatar, Samurai Biru adalah sebaik-baiknya Asia di hadapan raksasa-raksasa Eropa dan Amerika Latin.Â
Dan Jepang, sekali lagi, adalah pencapaian fenomenal sepakbola yang dicapai karena dirancang. Jalan sukses mereka telah ditetapkan secara sengaja. Mereka mendesain sistem yang merealisasi visi 100 tahun.Â
Jepang yang menolak musnah sesudah perang dunia kedua. Yang memilih jalan modern versi penemuan Asia sejak zaman Meiji.
Ambisi negeri ini sebagai salah satu adidaya di dunia tidak berhenti pada kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi (berikut patologi sosial yang menyertainya). Jepang juga menjadikan dirinya adidaya di sepakbola. Kalau sekadar juara Asia, sudah lama dilampauinya.Â
Mungkin karena itu, ketika Hajime Moriyasu membungkuk sebagai pertanda permintaan maaf dan berterimakasih kepada para pendukung (khususnya yang datang dari Jepang), kita bisa menghayatinya sebagai sikap penghormatan yang mengharukan.Â
Hajime Moriyasu telah meletakkan para pendukung sebagai tuan, sebagai tanah air yang dibelanya.Â
Karena itu, ketika sepakbola mengutus Anda mewakili sebuah negeri, Anda sedang bekerja demi patriotisme yang tidak selalu mudah diemban. Apalagi di sebuah lapangan, sebagai kesebelasan, dengan wasit, pengawsan VAR, dan tribun penuh pendukung.Â
Anda dituntut menang tapi bukan dengan mengokang senjata, menembakan meriam; tidak dengan menjadi pembunuh keji atas nama membela kedaulatan. Anda boleh kalah sesudah pantang menyerah.
Kita yang cuma bisa mendukung memang tidak akan pernah merasakan apa yang dikatakan Diego Armando Maradona, "To see my country lose a football match is very hard for someone who has worn the shirt."
Tapi kita seharusnya bisa menikmati sepakbola adalah manifestasi dari kerja-kerja patriotik yang tetap sportif. Termasuk ketika ia bekerja memelihara perdamaian dan kegembiraan anak manusia.Â
Kita tetap sesama manusia bersaudara dalam pertunjukan patriotisme yang sportif itu.