Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Seusai Australia, Seperti Apa Argentina Meredam Belanda?

4 Desember 2022   11:52 Diperbarui: 4 Desember 2022   20:04 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lionel Messi melambai tangan usai mengalahkan Australia 2-1 di babak 16 besar Piala Dunia 2022 | (AFP/MANAN VATSYAYANA via Kompas.com)

Peristiwa menggembirakan dari perjalanan Argentina di Piala Dunia Qatar 2022 yang lolos hingga perempat final adalah karena memainkan sepak bola menyerang yang enak dipandang. 

Perasaan gembira seperti milik Argentina memang duluan dimiliki pendukung Belanda. Sementara untuk negara sisanya, kegembiraan yang sejenis belum bisa ditagih---karena mereka belum terbukti lolos saja.

Sesudah kejutan-kejutan yang terjadi sepanjang penyisihan grup, terutama dengan lolosnya "Tim Samurai Biru" sebagai juara dari "neraka" yang dihuni Spanyol, Jerman dan Kostarika, fase perdelapan final adalah tahapan dimana siapa saja bisa tumbang. Fase yang menuntut segalanya harus berada di level terbaik. Tanpa itu, setiap unggulan bisa berakhir sebagai semenjana.

Jadi kalau Anda melihat babak gugur dengan kacamata eskatologis, maka tindakan memusnahkan atau dimusnahkan dimulai di sini. Tidak ada pembicaraan mengenai kesempatan kedua.

Oleh karena itu, saya tetap memiliki keyakinan Argentina akan melewatinya, seperti sudah ditegaskan dalam artikel berjudul Tentang (Rahasia) Argentina Sejauh Ini. Tapi karena ini Australia, ada sedikit keraguan. 

Pasalnya bukan semata-mata karena anak asuh Graham Arnold ini sukses menghentikan Tunisia dan membuat "Dinamit Eropa", Denmark gagal meledak. Bagi pemuja Argentina, menghadapi Australia adalah mengenang rivalitas sesama pejuang di lubang jarum.

Dua negara dari dua benua ini beradu nasib menjelang Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Keduanya mesti memainkan babak play-off kualifikasi OFC--CONMEBOL. Babak ini adalah pertandingan kandang dan tandang antara pemenang turnamen kualifikasi Oseania dan pemenang play-off CONCACAF--OFC, yaitu Australia, dan tim peringkat kedua dari Grup 1 Zona CONMEBOL, si Argentina. Pendek kata, pertandingan yang memperebutkan sisa slot.  

Tahun itu kelak dikenang sebagai senjakala Diedo Armando Maradona. Dan perjumpaan dengan Australia mengisahkan penggal sejarah sepakbola Argentina yang ironis. Dikarenakan skuad Argentina kala itu diperkuat nama-nama top seperti Batistua dan Abel Balbo, dua striker top di Seria A. 

Di tengah ada gelandang elegan, Redondo yang pernah membuat Zidane tak berkutik. Di belakang, Chamot---bek yang sempat bermain untuk AC Milan, serta kiper Goycochea, yang tampil heroik di Piala Dunia Italia '90. Termasuk masih membawa Ruggeri yang juara di tahun 1986 bersama Maradona. Ada juga satu nama yang tidak cukup dikenal, Carlos Mac Allister, ayah dari Alexis Mac Alliester.

Sementara di tim Australia, dari seluruh anggota skuad, rasanya hanya Mark Bosnich yang dikenal dunia. Pemain berposisi kiper ini pernah bermain untuk Manchester United dan Chelsea. Yang mungkin tak banyak diketahui, Graham Arnold bermain sebagai penyerang Socceroos saat itu. 

Nama-nama yang nyaris tak dikenal seluruhnya tidak serta membuat mereka adalah kumpulan underdog. Australia juga dihidupi motivasi yang besar karena babak play-off ini adalah kesempatan bermain lagi di perhelatan piala dunia sesudah pertama kali di tahun 1974.

Sesudah dua pertemuan, Argentina akhirnya berhasil lolos dari lubang jarum, dengan hasil imbang dan menang tipis. Batistuta, dkk akhirnya tampil di Amerika Serikat yang menjadi terakhir bagi "El Pibe de oro". Pemilik gol tangan tuhan ini belakangan terseret kasus doping. Argentina hanya sampai 16 besar, dipaksa pulang oleh Rumania.

Dengan latar belakang perjumpaan yang sekilas ini, Australia adalah wakil Asia yang berpotensi menyulitkan. Sedangkan bagi semua tim yang diunggulkan, mendadak masuk angin dan lemas tak berdaya di fase gugur adalah kemungkinan yang bisa menerpa kapan saja.

Apa yang bisa diulas dari perjumpaan keduanya di Qatar 2022? Tidak banyak yang bisa diulas karena Argentina tetap menjaga karakteristik yang berhasil membawa sejauh ini.

Karakteristik yang dimulai oleh rasa sakit yang diterima dari partai pembuka yang mengenaskan. Kekalahan di awal selalu seperti momok bagi tim-tim dengan sederet bintang. Karena itu, tantangannya adalah sesegera mungkin mengenali titik lemah dan berani melakukan revisi. 

Kita lantas melihat jika Scaloni dan tim pelatih adalah gagasan yang berani melakukan revisi, khususnya di lapangan tengah. 

Scaloni memilih darah muda seperti Enzo Fernandes dan Alexis Mac Allister sejak awal, menemani De Paul. Ketimbang tetap memainkan (lagi) Paredes. Di depan, Julian Alvarez akhirnya dijadikan starter ketimbang Lautaro Martinez. Anak muda ini terbukti lebih baik dalam pergerakan juga ketika mengeksekusi shot on target.

Kita tidak melihat revisi seperti ini di tim seperti Uruguay. Mereka punya Nunez dan Valverde yang sedang ngetop-ngetopnya, tapi masih saja memainkan Suarez yang terlihat tambun itu terlalu lama. 

Kejelian dan Momentum. Australia berusaha mengubah momentum dengan berbalik menyerang sesudah ketinggalan dua gol. Tidak menunggu lama, di menit ke-58, Graham Arnold melakukan dua pergantian. Lalu disusul tiga pergantian di menit 72. Sesudah ini, Argentina terlihat beberapa kali kelimpungan menghalau ancaman. Salah satunya karena celah yang menganga saat transisi-dalam-bertahan. 

Scaloni dan tim membaca usaha membalik momentum ini. Dia memasukan Palacios, seorang gelandang. Tagliafico di bek kiri dan Montiel di bek kanan. Pergantian ini jelas karena menjaga keseimbangan di belakang. Dan, yang tidak boleh dilupakan adalah keberadaan "Duo Martinez" di garis pertahanan.

Martinez pertama, seorang bek mungil dengan jiwa petarung yang total. Masuk menggantikan Papu Gomez di menit ke-50, ia berhasil menahan sepakan pemain Australia yang berhasil lolos dari sisi kanan pertahanan. Lantas sosok Martinez kedua, kiper yang berhasil menahan bola dalam pertarungan jarak dekat. 

Awalnya saya mengira memainkan Lisandro Martinez demi menguatkan proses build-up di sisi kiri. Apalagi 7 menit sesudah pergantian ini, Julian Alvarez membuat gol dari pressing yang membuat blunder kiper Australia. Ternyata Martinez mungil ini berfungsi lebih kunci dari itu. Dari aksi blocking keduanya, kesempatan Australia membalas gol terpaksa sirna. 

Argentina sebenarnya memiliki kesempatan menyudahi perlawanan Australia sebelum peluit panjang dibunyikan. Sayang, Lautaro Martinez, atau Martinez ketiga, tidak mampu memaksimalkan dari sekurangnya dua kesempatan emas. 

So, apa yang mesti diwaspadai Argentina ketika bersua lagi dengan Belanda?

Rekor perjumpaan Argentina dengan Belanda di piala dunia sudah dimulai sejak tahun 1974, dimana Belanda menang besar 4:0. Di piala dunia 1978, Belanda yang tengah mengkilap bersama Johan Cruyff justru dibekuk di final. Terakhir mereka bertemu di semi final piala dunia 2014, dimana Belanda kalah lewat adu penalti. 

Sebelumnya di tahun 1998, Argentina ditekuk Belanda di perempat final 2:1. Salah satunya lewat gol berkelas Dennis Bergkamp. Adapun di fase grup piala dunia 2006, mereka bermain imbang tanpa gol.

Sejarah perjumpaan di piala dunia sejauh ini adalah milik Belanda. Namun deretan hasil positif itu skuad Oranje tidak dalam rangka mengangkat trofi piala dunia.  

Di pertemuan kali ini, Argentina tidak boleh lagi setengah-setengah dalam memainkan pressing sejak garis pertahanan Belanda. Belanda selalu adalah Tootal Voetbal, sepragmatis apapun mereka memainkan game plan Louis van Gaal (saat melawan AS, mereka sejatinya imbang dalam penguasaan bola). 

Argentina juga wajib memenangkan lapangan tengah di hadapan formasi 3-4-1-2 yang dimainkan Van Dijk, dkk. Satu lagi yang tidak boleh dibiarkan ialah pergerakan cepat Dumfries dan Gakpo; keduanya adalah bahaya yang efektif. Jangan lupakan, Belanda belum pernah kalah hingga detik ini.

Kesimpulannya Argentina tidak bisa menurunkan kewaspadaan. Terlebih lagi (masih) memainkan drama kelimpungan sesudah unggul dalam jumlah gol. 

Formasi 4-3-3 yang dilakoni sejauh ini sudah terbukti "bekerja lebih Bruce Lee", kalau kata Engkong Felix. Tentu saja dengan tetap menjaga kesolidan Fernandez-Mac Allister-De Paul di tengah. Di depan, Messi dan Alvarez adalah tetap sebagai yang utama. Sedang di belakang, Romero yang tampil makin bagus, akan dimainkan sejak menit awal sebagai tandem Otamendi.

Scaloni mungkin perlu mencoba Dybala, ketimbang memasang terus Lautaro Martinez sebagai pengganti. 

Dybala memiliki kapasitas beroperasi di sisi kiri, sebagaimana Di Maria dan bisa lebih memberi alternatif ketimbang Papu Gomez. Dybala juga terdidik bertahan dalam kultur defens Serie A. 

Argentina tidak bisa lagi bermain-main dengan dominasi minus efektifitas. Pertunjukan oper-operan tanpa gol hanya bikin Belanda sedang melawan AS dalam serangam berbeda.

Di luar aspek taktikal di atas, kita perlu menimbang sentralitas peran Messi sepanjang turnamen 4 tahunan ini. 

Messi menciptakan rekor baru yang membuatnya melampaui Maradona dalam jumlah gol. Atau menjadikannya sejajar dengan Maldini dalam jumlah penampilan di piala dunia. "La Pulga" sudah memainkan 1000 pertandingan sepanjang karirnya. 

Ia masih bisa melampaui rekor-rekor para legenda itu. Messi memiliki motivasi yang bersifat penghabisan. Ini piala dunia terakhirnya.

Ya sudah, kita tunggu saja seperti apa hasilnya. Sekurang-kurangnya, sampai subuh tadi, Scaloni menjadikan Argentina bermain seperti yang sudah saya ungkapkan. Bermain sebagaimana diharapkan banyak fans.

***

Sumber lain yang dipakai Whoscored.com, Bolanet.com, Wikipedia, dan Goal.com.

      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun