Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Cara Argentina Tidak Mengulangi "Nasib Keledai"

27 November 2022   10:57 Diperbarui: 27 November 2022   11:50 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subuh barusan, Tim Tango akhirnya bermain dengan ide yang sudah disarankan dalam artikel berjudul Argentina Mati Gaya, Salahnya Di Mana?

Scaloni tetap harus membuat Messi, dkk bermain menyerang dan dominan. Tapi dengan distribusi bola yang lebih baik, tidak monoton (: terlalu sering melalui sayap), tidak memainkan Cristian Romero, Leandro Paredes dan Papu Gomez sejak awal. 

Nama yang pertama, tidak cukup fleksibel mem-build up serangan dalam belakang. Nama kedua, terlalu sering men-delay bola sehingga kehilangan momentum. Nama yang terakhir, manuvernya sisi kiri mudah dibaca pertahanan Arab Saudi.

Scaloni memberanikan diri menggunakan nama-nama yang kurang dikenal. Di lapangan tengah, ia memasang Guido Rodirguez, gelandang bertahan yang merumput di Real Betis. Kemudian memainkan Alexis Mac Allister, yang baru berusia 23 tahun. 

Gelandang muda ini bermain di Brighton, klub di liga Inggris yang dipuji karena sepakbola atraktif. Dua gelandang yang tidak bermain di klub besar itu menemani De Paul yang disuruh bekerja lebih keras sebagai "box to-box midfielder". 

Terakhir, Scaloni juga memainkan bek mungil idola baru fans MU, Lisandro Martinez sebagai duet Otamendi di barisan belakang; sebagaimana yang saya usulkan. 

Pendek kata, Scaloni memilih nama-nama baru menghadapi Mexico yang dikenal liat, cepat, serta diasuh seorang Argentina bernama Gerardo Martino. 

Kita mesti sejenak melihat profil dari pelatih kelahiran 20 November 1962 ini. 

Pelatih kelahiran Rosario ini memiliki riwayat melatih Barcelona di musim 2013-2014. Walau tidak berhasil juara liga, capaiannya sesungguhnya tidak buruk-buruk amat untuk pelatih pendatang baru dengan latar belakang Non-Eropa. 

Wikipedia mengatakan bahwa Martino adalah pelatih pertama dalam sejarah Barcelona yang tidak kalah dalam 16 pertandingan awal. 

Termasuk menang 2:1 melawan Real Madrid di Camp Nou. Selama merantau ke La Liga, Martino memainkan 59 kali laga, dengan 40 kemenangan, 11 hasil imbang serta 8 kekalahan. Ia memiliki prosentase kemenangan sebesar 67,80%.

Martino lantas dipilih sebagai suksesor Alejandro Sabella di Agustus 2014. 

Sabella adalah nama yang sukses membawa Messi, dkk ke final Piala Dunia di Brazil namun dikalahkan Jerman. Di fase ini, pelatih yang gemar memainkan formasi 4-3-3 berhasil membawa Argentina hingga final Copa America 2015. Argentina kalah adu penalti melawan Chile. 

Selama mengasuh Meksiko sejak tahun 2019, pelatih yang memiliki suka memainkan very high pressing dan attacking style of football sudah memberikan satu gelar juara Concacaf Gold Cup 2019. Mereka juga mencapai dua kali final, pada Concacaf Gold dan Concacaf Nations League 2021 namun kalah dari musuh bebuyutannya, Amerika Serikat. 

Background Martino menggambarkan potret pelatih memang (seharusnya) paham bagaimana menghadang Argentina edisi 2022 yang masih dipimpin seorang Lionel Messi. Apalagi, Arab Saudi sudah sukses menunjukan caranya di partai pembuka. 

Membaca Pertandingan
Hingga babak pertama usai, kita masih melihat Argentina yang mengalami kebuntuan di hadapan Meksiko yang tampil solid. 

Martino tidak memainkan formasi andalannya, 4-3-3 menyerang. Ia memasang formasi 5-3-2, menumpuk banyak pemain di pertahanan. Pressing ketat juga diperagakan.

Opsi ini tidak lantas membuat Meksiko bermain dengan sepakbola negatif, jika yang dimaksud adalah skema bertahan total sembari menanti saat serangan balik. Meksiko tetap berusaha mengontrol bola. Possesion mereka mencapai 41% sepanjang pertandingan. 

Sedangkan Albiceleste bermain dengan cara yang tidak mereproduksi sebab-sebab kejatuhan mereka di kaki-kaki gurun Arab Saudi. Pergerakan dari sayap tetap menjadi pilihan, selain pengusaan lapangan tengah yang lebih cair dan seimbang.

Messi terlihat bergerak lebih bebas. Di Maria tetap bergerak menyisir sisi sayap. Yang paling berbeda adalah De Paul. De Paul terlihat lebih mobile, walau beberapa kali kehilangan momentum. 

Jangan abaikan kehadiran Martinez di belakang. Ia beberapa kali menyuplai bola ke lapangan tengah dengan gayanya yang khas. Martinez juga selalu menang dalam mengamankan areanya di sisi kiri.   

Taktik Martino berhasil memaksa keadaan tetap 0:0 di babak pertama. Argentina masih mengalami kebuntuan yang sama. 

Kreativitas yang dibutuhkan dari lapangan tengah tidak banyak berubah, walau sedikit berbeda. Masih sering terlihat jarak antara para gelandang dengan pemain belakang yang berjauhan kala menyusun serangan.

Kebuntuan baru pecah sesudah Scaloni melakukan pergantian di menit ke-57. Enzo Fernandez sebagai gelandang bertahan yang gemar naik ke kotak 16 lawan, Julian Alvarez, penyerang muda yang sedang bermain di Man City masuk. Di bek kanan, ia memasukan Nahuel Molina yang lebih agresif.

Gol yang dinanti akhirnya tercipta tapi bukan dari serangan sayap. 

Gol pertama ini lebih diakibatkan kelalain pemain Meksiko menutup ruang tembak Messi. Gol Messi di menit ke-64 adalah pemecah ketegangan dari sejauh apa taktik Scaloni masih berdayaguna. 

Gol ini bahkan membuat seorang Pablo Aimar sampai menangis; menandakan betapa besar tekanan yang menyertai. Gol "La Pulga" ke-8 ini membuat dirinya sejajar dengan jumlah yang dibuat oleh Maradona selama Piala Dunia. 

Sedangkan gol kedua di menit 86, saya kira, karena skillball  Enzo Fernandez dalam mengeksploitasi ruang sempit di dalam kotak 16. Sesudah menerima sodoran Messi, gocekan dan tembakan melengkungnya memaksa Ochoa menangkap udara kosong. 

Di menit-menit penghujung ini, pemain Meksiko memang terlihat lebih lelah.Taktik menyerang balik Martino tidak bekerja maksimal. Scaloni telah menginstruksikan pemainnya memainkan pressing yang lebih tinggi. 

Argentina yang selalu terseok-seok di putaran grup Piala Dunia akhirnya berhasil mengembalikan kesempatan untuk lolos. Messi, dkk tidak mengulangi nasib keledai: terjerumus ke lubang yang sama.

Wajib Menghentikan Polandia. Kemenangan ini membuat Messi, dkk naik ke peringkat kedua, dipimpin Polandia. Arab Saudi bergeser ke posisi ketiga karena kalah dalam laga dimana mereka bermain lebih menyerang. 

Walau begitu, di laga pamungaks, Arab Saudi masih berkesempatan dengan menang melawan Meksiko. Karena itu juga, di partai puncak Grup C nanti, Argentina wajib menang melawan Polandia, tidak ada syarat lain.

Scaloni mesti menemukan solusi jitu membongkar Polandia yang sudah menunjukan cara bermain solid dan efektif melawan Arab Saudi. Mereka menghadapi wakil Eropa yang memiliki kiper berpengalaman, Lord Szczesny, sosok yang tidak mudah panik di hadapan serangan bertubi-tubi. 

Kewaspadaan Argentina pun mesti berada di level terbaik karena Lewandowski adalah tipe penyerang yang licin. Lihai membuka lubang di pertahanan lawan dan tajam dalam eksekusi gol. 

Penyerang Barcelona ini juga dibekali skillball mumpuni yang membantunya memenangkan duel satu lawan satu. Dalam laga kontra Arab Saudi, ia berkali-kali membuktikan kelihaiannya itu. 

Selain Lewandowski, jangan abaikan Milik dan Zielinski. Milik adalah tipe penyerang dengan positioning yang bagus di depan gawang. Sedang Zielinski adalah gelandang serang yang lincah menyusuri celah, sebagaimana yang sering diperankan bersama Napoli. 

Ini berarti Argentina mesti memenangkan banyak bola di lapangan tengah dibanding Polandia. Persisnya adalah memenangkan dominasi dan menjaga stabilitas. 

Untuk ini, Rodirguez dan Mac Allister yang terbukti membantu kerja De Paul sebaiknya dicoba kembali ketimbang memasang Paredes dan Gomez. Sedang bek mungil Martinez tetap mendampingi Otamandi di belakang.

Penting dicata bahwa saat laga melawan Arab Saudi, Polandia hanya memiliki penguasaan bola sebesar 36%. Mereka tidak banyak menciptakan tembakan ke gawang, 16 kali berbanding 11 dimana shots on targetnya 3 berbanding 5.  

Rasanya Czeslaw Michniewicz, pelatih Polandia, masih akan menggunakan gaya yang sama. Solid bertahan dan efektif dalam memanfaatkan setiap kesempatan. 

Karena itu, tunggu saja siasat apa yang akan dilakukan Scaloni agar Argentina bisa langsung moncer sejak menit pertama. 

***

Data statistik yang dikutip bersumber dari Whosocred.com.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun