Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Argentina Mati Gaya, Salahnya di Mana?

22 November 2022   21:03 Diperbarui: 23 November 2022   11:04 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada peristiwa lain yang dinanti-nanti fans Argentina di seluruh muka bumi selain menjadi juara di tahun ini. 

Menjadi juara di Qatar bukan karena mengejar capaian milik Brazil atau Italia, apalagi Inggris. Tidak karena memenangkan rivalitas antar bangsa dengan tradisi sepakbola yang kuat ini. 

Argentina kudu mencapai juara agar sejarah Messi dalam sepakbola menjadi kisah klasik untuk masa depan. Messi masih menjadi bayang-bayang Maradona dalam perkara mengangkat trofi "Jules Rimet". 

Tahun ini, Messi sudah berada di masa menuju pensiun. Mengenang riwayat karirnya yang cemerlang-hampir-tanpa cacat maka satu-satunya yang menyempurnakan adalah juara di ajang empat tahunan ini.

Pada Piala Dunia 2014, Messi pernah membawa Argentina hingga puncak. Namun dikalahkan Jerman lewat gol tunggal Mario Goetze di masa perpanjangan waktu. Sakit hati. 

Sama sakitnya ketika di final tahun 1990, Maradona,dkk juga kalah oleh satu-satunya gol penalti Jerman yang dieksekusi Andreas Brehme. Dari pertemuan dengan Jerman di final, Argentina baru sekali menang di Mexico, tahun 1986.

Tapi, di partai pembuka Grup C, kita belum melihat tanda-tanda itu. Taktik Scaloni, pelatih termuda di turnamen kali ini, tidak banyak memberi keyakinan.      

Hingga menit ke 50, kita berhak menyimpulkan jika Leo Messi, dkk bermain tanpa kreativitas yang cukup. Mereka bahkan cuma bisa bikin gol dari penalti, bukan akibat skenari open-play yang ciamik. 

Serangan selalu mengandalkan pergerakan di sayap. De Paul dan Gomez yang seharusnya memberi efek lebih kreatif, malah tidak berfungsi. Sementara Paredes sering men-delay bola. Messi sendiri tidak banyak menyentuh bola. 

Setelah dipikir-pikir, kok agak mirip-mirip Juventus, ya. Membosankan.

Messi dan Martinez bukan tanpa manuver. Mereka beberapa kali beradu cepat dengan pertahanan Saudi, bikin gol tapi keduluan offside. 

Ketika gol kedua terjadi, Scaloni seperti baru tersengat, ada yang tidak berjalan. Paling kelihatan adalah distribusi bola di tengah ternyata monoton. Tidak menunggu lama, tiga pemain baru langsung dimasukan. 

Papu Gomez, Leandro Paredes dan Cristian Romero langsung ditarik. Nama-nama segar seperti Lisandro Martinez. Julian Alvares dan Enzo Fernandes diharapkan dapat mendorong arus serangan yang lebih banyak dengan opsi yang lebih kreatif, tidak melulu di sayap. 

Tapi ini tidak berdampak banyak. Arab Saudi masihlah tembok yang rapat, hampir tanpa guncangan. Kita memang melihat air bah serangan dari kiri dan kanan. Cukup yang merepotkan tapi tak memenuhi syarat membalikkan keadaan.

Sepanjang dua babak, Arab Saudi nyaris tidak menciptakan celah yang bisa diobrak-abrik Messi, dkk. Mereka menutup pergerakan dari sayap sama baiknya dengan mengunci lapangan tengah. 

Mereka seperti tak kenal lelah jatuh bangun dengan penguasaan bola hanya 30% itu. 

Tapi ketika jatuh bangun bertahan itu membuat mati gaya seorang Messi, Di Maria, Martinez, hingga De Paul, kita terus tahu taktik seperti itu bukan sembarang. Kita terus mencari tahu siapa sang mastermind, bukan?

HERVE RENARD. 

Herve Renard, pelatih berkebangsaan Perancis ini pernah juara Piala Afrika di tahun 2012 bersama Zambia. Kemudian juara lagi dengan Pantai Gading (Ivory Coast) ajang yang sama di tahun 2015. Pelatih yang ketika bermain berposisi sebagai pemain bertahan ini disebut pelatih pertama yang juara Piala Afrika dengan tim berbeda. 

Herve Renard pernah kembali ke negaranya dan melatih klub, seperti Sochaux (2013) dan Lille (2015). Namun dia tak cukup bersinar di sana. Karirnya lebih bersinar di Benua Afrika. 

Sebelum melatih Arab Saudi, di tahun 2017 dia meloloskan Maroko ke Piala Dunia 2018 di Rusia.

Dengan kemenangan tak terduga, di hadapan sekitar 88.000 pasang mata, Herve Renard berhasil membuat Salem Al Dawsari, dkk menjadi tim Asia pertama yang mengalahkan Argentina di ajang Piala Dunia. Arab Saudi tidak sebatas menghentikan rekor tak pernah kalah selama 36 kali secara beruntun milik Negeri Tango.

Taktiknya yang sukses meredam dan mengunci eksplosifitas "La Albiceleste" bisa menjadi pembelajaran bagi yang lain.

Masalahnya, di grup C, Mexico dan Polandia bukan kompetitor yang mudah. Dalam perjumpaannya dengan Argentina, Mexico memang medioker dengan 15 kali kekalahan. Tapi tim ini selalu ulet dan pantang menyerah. 

Dan Arab Saudi sudah menunjukan caranya, mengapa mereka tidak bisa?

Sedang Polandia bukan tim dari Eropa yang mudah juga disingkirkan. Di ajang UEFA Nations League A, Robert Lewandowski, dkk ini memang masih kelas bawang. Mereka tidak cukup kuat menghadapi Belgia dan Belanda. 

Sebelum Piala Dunia, mereka berujicoba melawan Chile dan menang tipis 1:0. Tapi, sekali lagi, Arab Saudi dengan nama-nama yang asing sudah menunjukan bagaimana caranya, mengapa mereka tidak?

Di titik inilah, nasib Argentina yang sering terseok-seok di penyisihan grup di setiap Piala Dunia bisa lebih mengenaskan. Mereka bukan tidak mungkin dipulangan lebih awal sehingga menyempurnakan kejutan yang sudah dirintis Herve Renard. 

Satu-satunya saran buat Scaloni, ketika melawan Mexico, mainkan bek mungil Martinez sejak awal. Martinez adalah petarung yang gesit dan berani. Ia juga memiliki kemampuan mem-build up serangan, ketimbang Romero yang mutar-mutar.

Paredes sebaiknya dicadangkan saja. Terlalu doyan men-delay bola. Paredes juga tidak bisa bertahan sebaik Mascherano dulu. Enzo Fernandes mungkin bisa diberika kesempatan pertama sebagai DMC. Karena itu, De Paul seharusnya bisa lebih maksimal berperan kreator yang berciri box-to-box. 

Sedangkan Papu Gomez mungkin diperintahkan lebih banyak beroperasi melebar ke kiri. Kalau masih banyak bergerak ke tengah dan menumpuk jalur dengan Martinez, fungsinya mungkin digantikan saja dengan Julian Alvarez yang baru 22 tahun itu. 

Sedangkan Messi, biarkan saja dirinya bebas bergerak ke seluruh lapangan. 

Ketika bersua Saudi barusan, ruang geraknya seperti tertutup Di Maria yang dalam speed-nya tidak sekencang sebelum datang ke Juventus.

Scaloni tentu warus menemukan eksplosifitas yang bergerak di banyak arah. Tapi tanpa mengorbankan keseimbangan di tengah yang bikin kelimpungan.   

Sekalipun saran-saran ini terbaca ngaco, namanya juga fans. Bukankah ini lebih baik ketimbang menahan rasa sakit tanpa memikirkan jalan keluarnya?

Kalaupun nanti hasilnya sama menyakitkan, setidaknya kita sudah berusaha (terlibat memikirkan).    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun