Pada suatu ingin di sebuah masa, terbit angan-angan seperti ini. Angan-angan yang kontra kerumunan.Â
Saya ingin menikmati Iwan Fals atau Kla Project bersenandung, tapi hanya untuk saya sendiri. Saya mengharuskan totalitas khusyuk di hadapan musik mereka. Kira-kira serupa yang dilakukan Nagita Slavina kala memberi kado ultah kepada Raffi Ahmad.Â
Nagita mengundang Pongky Barata dan Fiersa Besari bernyanyi, khusus kepada suaminya. Ada uang, tidak penting lagi kemungkinan. Sultan mah bebas!
Angan-angan saya tentu saja geliat batin yang norak. Ekslusivitas yang mengada-ada; utopianisme yang tidak seliar Thomas Moore. Yah, namanya juga manusia dari garis menengah ke bawah. Mengapa harus berangan-angan dengan peristiwa miskin yang ramai?
Karena itu, perjumpaan dengan kerumunan besar, semisal dalam festival atau konser musik tidak pernah terjadi secara faktual. Demikian juga ketika pergi ke stadion atau pasar malam.Â
Pernah sekali berada di tengah kerumunan berukuran sedang. Yaitu pada saat meninggalkan stadion sesudah Persipura bermain. Kerumunan yang mengular menuju pintu keluar.Â
Pernah ada di kerumunan pasar malam. Niatnya mau kencan perdana, eh, gebetannya terlanjur didahului. Bangke. Â
Pernah sekali berada di tengah kerumunan massa yang datang dengan berupa-rupa bendera dan atribut. Saat itu harga BBM dinaikan dan lautan protester berkumpul di depan istana negara, Jakarta. Presidennya masih SBY.Â
Ini mungkin pengalaman yang agak seru-seru lugu bersama "kerumunan politik". Sempat terjadi kericuhan kecil, chaos, lantas kembali normal karena masing-masing massa meredam dirinya.Â
Pernah di suatu malam pergantian tahun di Manado. Saya berjalan kaki menuju sebuah asrama mahasiswa setelah hari yang melelahkan demi berdagang terompet. Tapi hanya sekadar melintasi kerumunan yang berjoget dengan bau cap Tikus menyengat-sumpah nih! Selain udara yang dipenuhi  asap mesiu dari petasan.
Kerumunan yang lain, yang tidak menyerupai empat perjumpaan di atas, adalah kerumunan mengular di depan tangga masuk kapal. Ini jenis kerumunan yang melelahkan dan riskan.Â
Sebab pencopet ikutan menyelinap di antara penumpang. Mengail di barisan panjang yang lelah memikul barang.Â
Kapal-kapal penumpang seperti Umsini saat itu belum setertib sekarang. Ada banyak maling berkeliaran, ada penumpang tanpa tiket. Marak transaksi kasur dan tempat tidur. Kecuali Anda membeli tiket kelas, bukan rombongan ekonomi.Â
Jadi, bagaimana rasanya ketika berada di tengah kerumunan yang Anda pilih sendiri?Â
Saya kira, pertama, Anda wajib menyusun kemungkinan apa saja yang bakalan terjadi.Â
Dari paling aman hingga paling ekstrim. Kalau Anda memilih terlibat di satu kerumunan--konser musik, misalnya--tanpa memiliki sketsa perkiraan tipe manusia dan kemungkinan perilaku yang bakal terjadi, Anda hanya bakal terlihat seperti seekor domba di kepungan segerombolan hiena.Â
Kedua, Anda mestinya juga sadar dan selalu waspada dengan tempat dimana kerumunan itu mengadakan dirinya.Â
Jika di ruangan indoor, semestinya Anda sudah tahu ada berapa banyak pintu, berapa banyak tangga darurat, dan seberapa banyak manusia yang hadir. Ini untuk menghitung daya tampung dan isi yang memenuhinya.
Artinya, menguasai ruang untuk menyelamatkan diri ketika keadaan tak terkendali seharusnya menjadi protab diri. Iya dong?
Tak ada bedanya dengan lokasi yang outdoor. Mungkin Anda berhadapan dengan udara yang lebih bebas dan perasaan yang lebih lapang. Namun jika chaos atau huru-hara terjadi, Anda tetap mesti memahami dimana pintu keluar terdekat yang paling aman.Â
Prinsipnya: kenali medang tempur Anda sebelum pergi menjumpai kekacauan.Â
Ketiga, bawalah alat komunikasi yang selalu membuat Anda terhubung dengan keluarga, kawan-kawan dekat, atau pihak-pihak yang siap siaga bergerak ketika ada marabahaya.Â
Keluarga dan kawan-kawan dekat karena mereka tidak ingin kehilangan Anda, sedang yang terakhir karena sudah begitu tugas yang dibebankan ke mereka.
Anda tidak perlu menghubungi mantan yang sedang merintis jalan bahagianya yang baru. Cuma ingin mengabarkan Anda sedang patah hati dan terjebak di tengah konser musik yang chaos. Demi apa?
Keempat, sekalipun musik dan keramaian yang menyertainya bisa menjadi sejenis elemen katarsis yang melepas kepenatan dan kegalauan, janganlah pergi kepadanya dengan kondisi mabuk.Â
Anda harus selalu menyiapkan kesiapsiagaan di tengah emosi yang meluap-luap.
Mabuk di tengah konser hanya membuat Anda rentan dimakan huru-hara. Entah sebagai korban yang tolol atau sebagai pemicu yang sama tololnya.Â
Kelima, pastikan Anda sedang bersama orang-orang yang memenuhi dua syarat. Bisa menjaga ketertiban dan memiliki kemampuan menyelamatkan diri bersama-sama.Â
Jangan pernah sekali-kali pergi ke konser musik hanya untuk memindahkan tawuran dari jalanan. Jangan pula pergi ke kerumunan dengan mereka yang cuma bisa menyelamatkan dirinya sendiri. Biarkan kelakuan yang satu ini menjadi milik dunia politik saja.
Keenam, kalau lima syarat di atas tidak bisa Anda penuhi, sudahlah. Jangan pernah pergi ke konser yang Anda sendiri tidak kenal konser semacam apa, di tempat serawan apa. Maksudnya, jangan ikut-ikutan atau mendadak anggota fans club, misalnya.
Diam saja di rumah. Tunggu video konsernya tayang di Youtube. Seperti yang kemarin hari saya lakukan terhadap konser Nicky Astria.Â
Mengapa Kau Kau Kau Terlupa Romantis. Terlalu Kau Kau Kau Menyayangi Aku. Sehingga Kau Kau Kau Menjadi Cemburu
Di Kala Aku Masih Mencintaimu. Aku Masih Setia Padamu.Â
Usah Engkau Gamit Jemariku Untuk Cinta Suci. Usah Biarkan Kerut Mendekati Di Jiwamu.
Saya hanya tinggal memasang headsett biar tidak mengganggu kawan di sebelah bekerja. Sambil nyanyi setengah berbisik mengikuti lirik lagu KAU, saya terkenang Album Minggu Kita-nya TVRI. Seorang bocah SMP di depan televisi merek Sharp.Â
Tante Nicky selama konser yang bertajuk "Teruslah Berlari" ternyata pribadi yang lucu. Tante Nicky gak butuh MC untuk menemani dirinya selama panggung. Konsernya di tahun 2019.
Mereka yang datang kebanyakan orang tua. Kebanyakan terlihat menyanyi atau merekam dengan hape-nya. Tak ada yang jingkrak-jingkrak apalagi sampai melempar botol air. Tak ada yang bawa bendera.
Mereka datang karena merayakan nostalgianya. Mereka hanya butuh menghibur diri dan kangen-kangenan.
Pergilah ke konser yang seperti ini! Pilihlah jenis kerumunan yang membuatmu pulang dengan hati tenang. Bukan tambah rusuh dan awut-awutan. Tapi ini belum cukup. Masih ada yang tak lantas beres dengan menuruti lima tips ala-ala di atas.Â
Begini:
Masalahnya jika selera tak bisa diperdebatkan, barangkali "ekstrimisme/kegilaan" yang menyertainya juga tak bisa diprediksi. Kelihatan tenang-tenang saja di tongkrongan, pas di depan panggung musik rock, meledak tak terkendali.
Kenali diri. Kemudian berilah batas terhadap bujuk rayu kerumunan.Â
Udah, gitu aja. Hehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H