Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Biaya Kuliah (Selalu Akan) Mahal, tapi Menjadi Warga Negara Lebih Berat dari Itu

1 Agustus 2022   11:19 Diperbarui: 1 Agustus 2022   12:01 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nominal SPP sebesar itu mungkin tidak mencekik ayah saya yang harus menyekolahkan tiga orang anak. Saya sendiri harus bersiasat dengan kiriman Rp.300.000/bulan. Penggunaannya tercatat seperti ini: bayar kamar kost Rp.100.000/bulan, sisanya buat fokopi bahan ajar, beli buku di toko buku Utama, sedikit rokok ketengan dan beli lauk di 1 minggu pertama. 

Biaya seperti itu hanya mungkin bertahan dengan ditemani jalan kaki sejauh 1 kilometer hampir setiap hari sebelah pasar Bahu, dan ngutang supermi rasa ayam bayang di kios ibu kota begitu memasuki minggu kedua. 

Walhasil di tahun ketiga, saya terpapar tipes stadium-II. Saya harus dirawat di VIP dan itu menambah-nambah berat orangtua.

Walau begitu, situasi saya masih jauh lebih baik dari nasib salah satu kawan yang juga datang dari Papua. Tidak seperti yang menjadi bagian dari masyarakat lingkar tambang Freeport yang mendapat beasiswa.  

Dia bukan saja tak memiliki keberuntungan itu, dia juga seorang diri dan harus bertahan hidup dengan mengurusi kebun warga, menanam bahan pangan dan mendapatkan upah. Dia tidak merokok dan terpaksa berjuang melawan TBC semasa kuliah. Seingat saya, kuliahnya tak selesai.

Tahun kedua, adiknya perempuan saya menyusul kuliah di Sam Ratulangi. Dengan jumlah kiriman bulanan yang sama. Bedanya SPP-nya lebih mahal karena di fakultas eksakta (!!). Dia selesai lebih cepat, tentu saja. 

Sementara saya, yang belakangan baru tahu betapa menderitanya ayah dan ibu menyekolahkan kami, pelan-pelan mulai merasa belajar di kampus adalah ritus yang menjemukan, alih-alih memerdekakan.

Semasa menyekolahkan kami bertiga, ayah saya sering tidak punya sisa uang. Gajinya sudah habis untuk kiriman bulanan dan cicilan rumah. Bersama ibu, mereka bertahan sehari-hari dengan sisa gaji ibu yang tersedot membiayai anak-anaknya yang merantau sekaligus. 

Ayah saya juga menolak opsi menjadi diktator: jual diktat buat beli motor. Sesekali ada anak-anak tetangga yang meminta les ke rumah tapi ibu menolak dibayar. Sepasang guru ini juga tak punya toko atau usaha sampingan. Mereka hanya punya gaji dan keyakinan.

Dengan kiriman bulanan sekitar tiga ratus ribu rupiah di awal-awal perkuliahan, apa yang akan terjadi jika biaya SPP di Sam Ratulangi lebih dari dua ratus ribu, ditambah biaya-biaya yang lain?

Makanya saat itu jika pergi ke perpustakaan fakultas yang lebih mirip gudang penampungan skripsi, saya tidak memelihara protes berkepanjangan seperti nyanyian protes senior-senior selama Ospek. Kecuali kepada penjaganya, seorang ibu yang jarang sekali tersenyum dan tak pernah sudi berkompromi perkara denda buku yang telat dikembalikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun