Ada sebuah bangunan yang selalu tersimpan di sudut ingatan. Bangunan itu adalah Perpustakaan Daerah milik propinsi Papua.Â
Di tahun-tahun itu, Jayapura belum menjadi wilayah yang diserbu bangunan ruko dimana-mana. Tak ada mall apalagi bioskop XXI. Baru ada satu toko buku yang terletak di kota Jayapura. Yang sekarang menjadi Gramedia.
Televisi masih dikendalikan negara, belum dikuasai sinetron dan gosip selebriti. Dan yang tak kalah penting, belum ada internet, smartphone, game online hingga sosial media. Â
Tapi taman bacaan belum banyak, tempat penyewaan buku juga nyaris tak ada. Anak-anak masih merdeka pergi ke kali, menyusuri got dan bermain bola di halaman sekolah. Masa itu juga adalah sehari-hari dengan berseragam biru putih.Â
Adalah bapak yang sering memberi ongkos angkot atau mengantar dengan motor ke sana. Bapak memang gemar membawa bacaan ke rumah yang dipinjamnya dari sekolah tempat mengajar.
Sedang gedung perpustakaan milik pemerintah ini sendiri berada di pinggir jalan raya Kotaraja. Jalan raya yang menyambungkan distrik Abepura, Entrop hingga ke kota Jayapura. Seorang keponakan saya menerangkan jika sekarang di samping perpustakaan telah berdiri pusat belanja dan gedung olahraga (GOR).
Bangunan ini, seingat saya, memiliki halaman yang cukup luas dan asri. Salah satu sisinya adalah ruangan khusus untuk anak-anak dan remaja.Â
Dengan bermacam komik hingga buku cerita petualangan yang berlimpah. Lantainya juga dilapisi karpet bersih, hawa yang sejuk juga hening. Sehingga pengunjung boleh tiduran sambil membaca.Â
Bagaimana mula-mula cerita sehingga kami bisa tiba di sana?Â
Perpustakaan daerah adalah tempat ngabuburit terfavorit setiap ramadan, kenang adik perempuan saya.Â
Sebelum warganet hari ini rutin meramaikan hestek #ngabookread, ramadan masa kecil di Jayapura sudah memulainya dari perpustakaan daerah.
Bertemu Legenda Asterix
Di ruang baca anak-anak, saya pertama kali berkenalan dengan petualangan Asterix dan Obelix. Tentu saja ada beberapa yang lain, semisal komik Kenji, Kungfu Boy hingga cerita petualangan Lima Sekawan atau Trio Detektif dan Alfred Hitchcock. Termasuk cerita-cerita rakyat Nusantara.Â
Saya mesti menyebut komik ini secara khusus karena hal-hal berikut ini.
Dari lembar-lembar halaman Asterix, saya dibawa berkunjung ke sebuah kampung yang bukan saja menolak tunduk. Kampung fiksi bernama Armorica di wilayah Gaul, atau Gallia, atau Prancis kuno, sekitar tahun 50 Sebelum Masehi.Â
Mengutip artikel di IDN Times, komik Asterix diciptakan oleh penulis Perancis Rene Goscinny dan ilustrator Albert Uderzo yang memulai debutnya pada tahun 1959 di majalah komik Prancis Pilote.
Rene Goscinny, meninggal tahun 1977 di usia 51 tahun. Cerita komik akhirnya dilanjutkan oleh Albert Uderzo sebagai penulis dan ilustrator. Uderzo telah meninggal dunia di tahun 2020 dalam usia 92 tahun.
Kabar terkini, seperti yang disampaikan BBC Indonesia, komik terbaru Asterix akan ditulis oleh Jean Yves-Ferri dan ilustrator Didier Conrad. Keduanya merupakan orang pertama  orang pertama yang membuat cerita komik Asterix, setelah ilustrator awalnya yaitu Abert Uderzo mengundurkan diri di tahun 2011.Â
Pada kelahirannya yang paling baru ini, petualangan Asterix akan berlansekap Skotlandia kuno dengan persoalan politik sebagai latarnya.Â
Komik Asterix merupakan salah satu komik seri yang paling populer di dunia. Sejauh ini komik ini sudah terjual 350 juta eksemplar. Kisah Astreix juga telah menginspirasi 12 film.Â
Histori seperti ini adalah sebuah kebanggaan. Bukan semata dalam kebesaran komik Asterix, saya adalah salah satu yang menggemarinya dari sebuah kota kecil di ujung timur Indonesia.Â
Asterix adalah komik pertama yang berhasil membawa imajinasi masa remaja saya ke riwayat orang-orang biasa yang daya hidupnya dibentuk oleh sikap menentang penaklukan namun bisa tawuran sekampung sendiri hanya karena perkara sepele.Â
Dalam pada itu, perlawanan mereka adalah sejenis perlawanan balik sekaligus praktik "deteritorialisasi" terhadap imperium Romawi zaman Julius Caesar. Oleh karena itu juga, rasanya Asterix lebih dari sekadar komik dari masa kecil di sebuah perpustakaan daerah yang tenang, sejuk dan nyaman.Â
Sebagaimana ketika kita membaca kolom Goenawan Mohamad (GM) di Tempo.Â
Di kolom berjudul Asterix yang dimuat pada 18 Oktober 2010, salah satu paragrafnya yang penting bilang begini:
Pada awalnya sebenarnya Uderzo ingin menggambar seorang tokoh yang gagah berotot untuk melukiskan seorang pendekar Gallia. Tapi Goscinny punya ide lain, dan jadilah Asterix. Dengan itulah kedua penggambar itu menyelamatkan patriotisme bukan saja dari lambang yang membosankan (lelaki berotot, tatapan mata yang berani), tapi juga dari kemungkinan jadi emosi yang konyol. Â
Jurnalis senior ini menambahkan jika Asterix lahir dan tumbuh ketika sikap naif dan sempit tentang pahlawan tanah air juga tentang heroisme umumnya sudah ditinggalkan.Â
Sikap naif seperti apa? Sikap naif yang dipelihara oleh superhero produk Amerika. Lebih jelasnya:Â
Superman, Batman, apalagi Captain America, adalah pendekar yang terlampau serius dengan kepahlawanan mereka sendiri. Para penciptanya mengkhayalkan manusia yang serba dahsyat seperti para penggambar itu belum pernah kecewa dalam mempercayai sesuatu dan memuja sesuatu.Â
Membaca kolom ini sesudah bertahun-tahun perjumpaan di ruang baca anak-anak milik perpustakaan daerah, saya makin bersyukur karena kebiasaan nongkrong di perpustakaan telah mengantarkan pikiran masa remaja pada sebuah komik legendaris.Â
Komik yang memeluk pembacanya dengan kebanggaan akan sikap yang udik, yang kampungan, yang hidup guyub di pinggiran. Yang bangga dengan cara hidup seperti itu.Â
Yang mengingatkan bahwa di tengah usaha mengontrol terpusat dan berambisi pada totalitas, selalu ada sudut yang retak, yang menolak. Sudut seperti itu yang (ingin) dikenalkan Rene Goscinny dan Abert Uderzo.
Perpustakaan daerah adalah rumah jumpanya.
***
Postmemori
Dari kenangan akan Asterix, kita terus diingatkan jika perpustakaan daerah telah memfasilitasi perjumpaan anak-anak di pinggiran dengan komik legendaris. Pengalaman yang mungkin tidak dimiliki semua anak di semua kota.
Arti pentingnya ini adalah karena menyediakan ruang dan kesempatan mengembangkan imajinasi ke tempat-tempat yang jauh atau masa lalu yang telah dilupakan. Layaknya cara bekerja mesin waktu.
Jika kita mengkhawatirkan perkembangan dari kota-kota yang tumbuh dalam aturan main yang makin konsumeristik. Lansekapnya dijejali oleh mimpi-mimpi akan perburuan kenikmatan. Â
Saat bersamaan, dunia sosial media mengajak kebanyakan warga kota untuk terus merayakan narsisme kolektif setiap hari. Anak-anak tumbuh bersama game (kekerasan) dan youtube yang memenjara imajinasi kedalam rekayasa audiovisual.Â
Kata, tokoh dan pelukisan cerita dalam buku-buku seperti milik mereka yang sepuh, pensiunan dan kelebihan waktu luang. Belum lagi keberadaannya yang mahal dan ketersediaannya yang terbatas di kota-kota yang jauh dari pusat kontrol pertumbuhan.Â
Bukankah perpustakaan daerah semakin vital adanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H