Dalam pada itu, perlawanan mereka adalah sejenis perlawanan balik sekaligus praktik "deteritorialisasi" terhadap imperium Romawi zaman Julius Caesar. Oleh karena itu juga, rasanya Asterix lebih dari sekadar komik dari masa kecil di sebuah perpustakaan daerah yang tenang, sejuk dan nyaman.Â
Sebagaimana ketika kita membaca kolom Goenawan Mohamad (GM) di Tempo.Â
Di kolom berjudul Asterix yang dimuat pada 18 Oktober 2010, salah satu paragrafnya yang penting bilang begini:
Pada awalnya sebenarnya Uderzo ingin menggambar seorang tokoh yang gagah berotot untuk melukiskan seorang pendekar Gallia. Tapi Goscinny punya ide lain, dan jadilah Asterix. Dengan itulah kedua penggambar itu menyelamatkan patriotisme bukan saja dari lambang yang membosankan (lelaki berotot, tatapan mata yang berani), tapi juga dari kemungkinan jadi emosi yang konyol. Â
Jurnalis senior ini menambahkan jika Asterix lahir dan tumbuh ketika sikap naif dan sempit tentang pahlawan tanah air juga tentang heroisme umumnya sudah ditinggalkan.Â
Sikap naif seperti apa? Sikap naif yang dipelihara oleh superhero produk Amerika. Lebih jelasnya:Â
Superman, Batman, apalagi Captain America, adalah pendekar yang terlampau serius dengan kepahlawanan mereka sendiri. Para penciptanya mengkhayalkan manusia yang serba dahsyat seperti para penggambar itu belum pernah kecewa dalam mempercayai sesuatu dan memuja sesuatu.Â
Membaca kolom ini sesudah bertahun-tahun perjumpaan di ruang baca anak-anak milik perpustakaan daerah, saya makin bersyukur karena kebiasaan nongkrong di perpustakaan telah mengantarkan pikiran masa remaja pada sebuah komik legendaris.Â
Komik yang memeluk pembacanya dengan kebanggaan akan sikap yang udik, yang kampungan, yang hidup guyub di pinggiran. Yang bangga dengan cara hidup seperti itu.Â
Yang mengingatkan bahwa di tengah usaha mengontrol terpusat dan berambisi pada totalitas, selalu ada sudut yang retak, yang menolak. Sudut seperti itu yang (ingin) dikenalkan Rene Goscinny dan Abert Uderzo.
Perpustakaan daerah adalah rumah jumpanya.