Ada perpisahan yang menandai akhir dari sebuah era. Atau lebih tepatnya permulaan proyek yang baru.Â
Kejadiannya di Allianz Stadium, markas Juventus. Ketika Si Nyonya Tua menjamu Lazio yang berakhir dengan imbang 2:2. Hasil yang tidak ideal tapi bagaimana lagi, pasukan Allegri tidak memiliki cukup kapasitas untuk kompetitif di musim ini. Hasil imbang yang seolah menyempurnakan kesenduan.
Adalah Giorgio Chiellini, sang kapten, sudah bertahan selama 17 musim dan satu-satunya orang yang mengalami 9 kali juara Serie A. Bersama Bonucci dan Barzagli, Chiellini pernah menjadi trio centre back yang disegani: trio BBC.Â
Duetnya dengan Bonucci bukan saja mengantarkan Juventus di puncak dominasi. Jose Mourinho yang dikenal mahir menerapkan negative-football bahkan pernah mengusulkan keduanya memberikan kuliah bagaimana menjadi bek tengah yang jempolan.Â
Si kapten yang kini berumur 37 tahun memutuskan akan bermain di liga para pensiunan, Amerika Serikat, terhitung musim depan.Â
Tapi Chiellini tidak sendiri. Dybala adalah sosok kedua yang harus menandai akhir sebuah era karena berstatus bebas transfer. Tidak ada kesepakatan, bos-bos Juventus ingin mengubah fokus proyek.Â
Paulo Dybala adalah penyerang yang capaian golnya mampu melewati Michel Platini. Sebagai penyerang dengan kekuatan di kaki kiri, kehadirannya mengingatkan akan penyerang legendaris Omar Sivori.Â
"La Joya" , julukan Dybala, juga meletakan namanya di urutan ketiga top skor Juventus di liga Champions, sesudah Del Piero dan Trezequet. Dybala pun telah mencapai 283 penampilan yang dilakoninya di semua kompetisi bersama Juventus.Â
Total torehan 113 gol dan 48 asist dipersembahkan pemain yang bernama lengkap Paulo Bruno Exequiel Dybala.
Diboyong dari Palermo sejak 1 Juli 2015, ia telah memenangkan 5 gelar juara Serie A, 4 piala Italia dan 3 Supercup Italia. Umurnya baru 28 tahun, produktif dan masih beredar di daftar perburuan klub-klub top Italia. Terakhir, dikabarkan, Mourinho tertarik membawanya ke AS Roma.
Kita perlu melihat 100 gol Dybala selama Juventus. Capaian yang membuatnya berada dalam sejarah elite para penyerang Juventus.
***
Di partai perpisahan Allianz malam itu, Dybala harus tersedu-sedu. Ia bahkan sampai dipeluk Bonucci. Air matanya yang menandai luapan emosi yang dalam.Â
Tidak terlalu penting di musim terakhir yang suram ini, dia tampil kurang maksimal sebagaimana proyek Allegri yang ngos-ngosan. Cedera adalah salah satu biang keroknya. Namun yang tak bisa dibantah Dybala adalah salah satu penyerang tajam di zamannya.
Selain 5 cincin juara Serie A, di liga Champions, Dybala merupakan bagian dari tim yang dua kali mencapai final. Walau tidak juara, ia pernah tiba di level tertinggi perebutan para jawara Eropa; persaingan elite.
Dybala dan juga banyak Juventini masih tidak ingin berpisah. Apalagi sampai harus melihatnya datang ke Turin dengan kaos tim milik musuh bebuyutan, semisal Inter Milan atau AS Roma atau AC Milan.Â
Tapi di situlah, barangkali, air mata dan perpisahan dalam sepak bola harus dimengerti sebagai semacam episode dari usaha manusia untuk menjadi. Sebab itu Dybala harus mengacu riwayat yang tepat, yang menolak tunduk karena penjara usia.Â
Sosok itu bukan pada Alessandro Del Piero, yang memang tak tergantikan di Juventus selamanya. Apalagi serupa cerita Francesco Totti yang sepanjang karirnya hanya dan demi kejayaan AS Roma. Keduanya menjalani masa semenjana di klub yang satu saja.Â
Dybala harus berkaca kepada sosok Andrea Pirlo, mantan rekan sekaligus pelatihnya di Juventus.Â
Pirlo telah mencapai banyak hal bersama AC Milan setelah 1 dekade dengan mengoleksi 9 trofi. 401 pertandingan dilakukannya. Pirlo adalah sebagai salah satu gelandang jenius yang pernah dilahirkan Italia. Salah satu yang terhebat di zamannya.Â
Ia memutuskan pindah ke Juventus di tahun 2011 dengan status bebas transfer. Saat itu umurnya 32 tahun, 4 tahun lebih tua dari Dybala. Fungsinya disangka sudah merosot. Milan saat itu diasuh Massimiliano Allegri.Â
Buffon sampai harus bilang, "Seorang pemain dengan level kemampuan seperti dirinya, apalagi dia didapatkan gratis, saya pikir itu adalah transfer terbaik abad ini." Â Â
Dan Pirlo menemukan pelatih yang tepat, momentum yang ideal. Juventus tengah bergerak pulih dari keterpurukan sesudah tahun-tahun yang medioker paskacalciopoli (2004-2007).
Ketika usia seperti kutukan bagi produktivitas dan daya saing. Pirlo ingin melawan itu. Membuktikan bahwa dia masih bisa bertarung di level tertinggi.Â
Selama musim 2011-2015, ia masih memuncaki tangga juara Serie A. Kualitasnya tetap terjaga dengan rekor-rekor individual dalam urusan melakukan operan hingga mengisi daftar para pemain terpilih Serie A dalam satu musim.Â
Pirlo, misalnya, adalah satu-satunya pemain Italia yang masuk nominasi FIFA Ballon d'Or 2013. Dia hanya mendapat 70 suara, namun lebih baik dari Xavi (40 suara) atau Mezut Ozil (35 suara), sekadar menyebut beberapa gelandang top sezaman.Â
Mengutip wikipedia, di musim 2011-2012, Pirlo menciptakan lebih dari 100 peluang dan menyelesaikan 2643 operan musim itu, dengan tingkat penyelesaian umpan 87%, menyelesaikan 500 operan lebih banyak daripada pemain lain di Serie A; Satu-satunya pemain di dunia yang telah menyelesaikan lebih banyak umpan daripada dia musim itu adalah Xavi.
Pirlo bukan saja bagian dari mereka yang mengabadikan rekor Juventus di kancah domestik. Pirlo bersama capaiannya telah menyentuh ruang keabadian, bukan saja ketaktergantikan.
Apakah Dybala bakal mencapai apa yang sudah dilakukan Pirlo: ketika berakhir di Milan, ia seperti terlahir kembali di Juventus?
Saya berharap begitu. Bukan pada pencapaian sang arsitek--julukan Pirlo-- yang mustahil diulang, tapi pada spirit dan kehendak untuk terus menjadi.Â
Kesedihan Dybala yang tersedu-sedu memang perlambang dari ikatan emosional yang dalam. Tanda dari luapan cinta yang kuat. Ilustrasi dari sejarah yang menyatukan sang bintang dan masyarakat pemujanya. Â
Namun itu sekaligus adalah sejenis perpisahan yang lazim dari industri sepak bola dimana logika proyek dan hukum komoditas adalah jantung yang memompa nafas sebuah klub.
Paulo Dybala, pendek kata, harus kembali ke Turin untuk menang. Untuk menunjukan bahwa dirinya adalah seorang juara, tidak terlalu penting ada dimana.
Dia adalah pemilik mentalitas Fino Alla Fine! #ForzaJuventusÂ
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H