Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Tuan Allegri Hanya Sedang Menyempurnakan Rasa Sakit, Santai Saja Bos!

12 Mei 2022   12:39 Diperbarui: 13 Mei 2022   03:40 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Inter Milan, sang juara Coppa Italia, sesudah meremuk Juventus di Olimpico Roma (ISABELLA BONOTTO via Kompas.com)

Sesudah gol cepat Barella di menit ke-7, pertanyaan yang segera muncul adalah mungkinkah Juventus dapat bertahan dengan lebih baik sehingga tidak dihajar lebih banyak lagi?

Bukan sedikit Juventini yang bersikap underestimate seperti itu. Faktanya terlalu berulang: Allegri tidak membuat tim ini layak bertarung di level tertinggi. Tim ini bukan saja diterpa badai cedera. 

Tim ini juga tidak lapar, tidak buas, dan tidak menemukan identitas terbaiknya.

Dybala, dkk, rasa-rasanya, hanya bisa menang ketika lawannya sedang tampil buruk. Mereka menang bukan karena pantas.  Skornya juga cuma bisa tipis-tipis saja.

Tapi, situasi subuh tadi sedikit berbeda. Sekurang-kurangnya sampai gol balasan tiba di menit ke-50 dan disusul serangan balik cepat yang dieksekusi dengan baik oleh Vlahovic. 

Game plan Allegri sesungguhnya telah menemukan formula sukses dalam menetralisir gaya agresif Inter Milan. Inter dipaksa kehilangan cirinya, tapi seperti kata Simone Inzaghi, ini adalah tim yang menolak menyerah. 

Adik kandung dari Filipo Inzaghi ini mengakui jika anak asuhnya kehilangan bentuk juga memiliki pendekatan yang buruk di babak kedua. Sebelum penalti yang diakibatkan kesalahan Bonucci.

Bagaimana Dybala, dkk bisa menetralisir bahkan sempat unggul sebelum menit ke-80?

Salah satu kuncinya adalah menjaga kerapatan di lini tengah. Hal mana dilengkapi dengan pressing yang tinggi hingga ke kotak 16 yang dijaga Samir Handanovic. Hakan Calhanoglu-Nicolo Barella-Marcelo Brozovic harus dipaksa tidak memiliki cukup ruang menciptakan ancaman. 

Dengan begitu, segera terlihat, Edin Dzeko dan Lautaro Martinez yang mati angin.  

Kreativitas tiga gelandang itu memang lebih baik dari pada yang mungkin diperoleh dari Zakaria dan Rabiot. Mobilitas mereka di lapangan tengah juga terlihat lebih mengacak-acak ketimbang dua jangkar milik Nyonya Tua yang sering disuruh main direct.

Dari layar kaca, kita bisa melihat pressing yang konstan dengan high defensive line berhasil meredam eksplosivitas taktik Inzaghi. Sampai di sini, tuan Allegri seperti berjalan di track yang benar. 

Tapi, tuan Allegri jugalah yang justru menciptakan malapetaka itu. 

Dimulai dengan pikiran bahwa keunggulan tipis 2:1 harus diamankan dengan menambah kualitas yang menguatkan soliditas lini pertahanan. Maka dimasukanlah Leo Bonucci. 

Hasilnya? Dari sinilah malapetaka dimulai. 

Kemudian, yang kiranya menambah kekacauan, adalah mengeluarkan Zakaria yang justru tampil bagus sebagai box-to-box midfielder. Locatelli yang baru pulih tidak banyak berfungsi sebaik yang dilakukan Zakaria. 

Pendek kata, Juventus sesudah gol Vlahovic hanya ingin bertahan dan memainkan serangan balik. Kembali menyerupai tim Italia dengan sebaik-baiknya catenaccio!

Sedang Simone Inzaghi sepertinya sudah khatam. Faham benar bagaimana meremuk Juventus yang mudah mati akal itu.

Sesudah menang di Supercoppa dan pertemuan di liga, Juventus ternyata tidak cukup tangguh dalam mengelola tekanan. Juventus yang pernah membuat mati gaya Barcelona itu sudah lewat zamannya.

Duet dua bek veteran mereka yang legendaris itu sudah lewat masanya. De Ligt memang telah menjadi penerus yang gigih, namun itu tidak cukup di level setegang final.

Maka yang dilakukan pelatih yang semasa bermain di Lazio adalah salah satu penyerang jempolan ialah menukar daya serangnya. 

Dzeko yang mati angin diganti Correa yang memiliki daya jelajah lebih baik. Lantas D'Ambrosio yang tak banyak memasok umpan ke pertahanan lawan diganti dengan Dimarco. Terakhir adalah menarik Darmian dan diganti dengan Dumfries.

Semua terjadi di menit 64. Maka lihatlah serupa apa dampak pembedanya? 

Agresivitas Inter kembali ke level yang semestinya. Sedang Juventus makin terkurung dan tergulung-gulung kedalam gelombang air bah serangan. 

Sejak detik ini, sejak Allegri (malah) memilih menularkan kepanikan. Sementara kita tahu, dalam gelombang serangan dan tekanan itu, insiden kecil di depan gawang Mattia Perin seperti sedang menunggu waktunya saja. 

Masih jelas di ingatan kita pada dua laga kedua tim di musim yang ketat ini. Laga yang menegaskan rapuhnya lini belakang Nyonya Tua.

Pertama, adalah kesalahan yang dibuat Alex Sandro saat Suppercoppa Frecciarossa 2022. Kontrol bolanya yang tak sempurna berhasil dicuri Alexis Sanchez yang tinggal berhadapan dengan penjaga gawang. 

Padahal Juve tengah unggul lebih dulu lewat gol McKennie sebelum De Sciglio menabrak Dzeko di dalam kotak 16 dan kesalahan Sandro. Inter akhirnya menang tipis 2:1.

Kedua, kekalahan tipis 0:1 di Allianz Stadium, sebulan lalu dalam perhelatan jadwal Serie A. Ketika itu Morata yang melakukan kesalahan dengan menginjak kaki Dumfries di dalam kotak 16. Penalti lagi sesudah digempur serangan kanan kiri.

Kali ini, Bonucci adalah tersangkanya. Martinez si kreator. Calhanoglu (lagi-lagi) sang eksekutor. Ketika menit pertandingan tengah memasuki waktu kritis. Menit ke-80. 

Dari historisitas ini, kita mestinya tahu, opsi Allegri untuk bertahan dengan harapan bisa menjaga keunggulan hanya menunggu malapetaka dan mendulang sakitnya kekalahan belaka. 

Kesimpulannya: dari pagelaran Derby d'Italia di musim ini, lini belakang La Vecchia Signora mudah panik dan sering menciptakan bahaya ketika digempur habis La Beneamata. 

Dari sini juga, dari perjumpaan yang melulu kalah ini, kita bisa menduga bahwa Allegri memang tidak belajar dari rentetan hasil buruk sebelumnya. Di laga yang menjadi satu-satunya kesempatan Juventus meraih trofi justru menularkan kepanikannya.

Senioritas dan pengalaman Allegri di hadapan Simone Inzaghi ternyata tidak lebih dari kebuntuan yang berulang. 

Di sosial media, Allegri segera dinilai lebih buruk dari pelatih kemarin sore, Andrea Pirlo. Pirlo dengan skuad yang nyaris sama berhasil mengumpulkan dua trofi dan lolos ke zona Champions. 

Sedang eks-pelatih Milan yang matang berkarat di Serie A dan kampiun beruntun dari 4 musim hanyalah mantan dari masa lalu yang kehilangan kapasitasnya. 

Pertanyaannya, proyek masa depan apa yang mesti dipercayakan kepada bapak ini? Konservatisme jenis apa lagi yang ingin diteruskan oleh Tuan Allegri? 

Bingung saya. 

Satu-satunya yang terang benderang menjengkelkan adalah pendekatan Allegri di sepanjang musim ini hanyalah melahirkan Juventus dengan keberterimaan akan sakitnya menjadi medioker. Yang puncaknya disempurnakan subuh tadi.

Makanya santai saja bos! Sudah biasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun