bola selalu memiliki cara menghadirkan keajaiban. Seperti yang dilakukan Real Madrid dini hari tadi.
SepakSaya telah menulis satu perkiraan yang lantas berkembang menjadi harapan. Artinya dari sebuah duga-duga kasar kemungkinan, suasana batin saya malah berkembang menjadi deg-degan. Ada cemas. Tak lagi berjarak dari peristiwa.
Perkiraan tersebut saya unggah di artikel berjudul Yang Boleh (Dibikin) Menderita Cuma Juventus, Unai Emery "Terpapar Khilaf"?
Argumentasi saya sederhana saja. Unai Emery memang menemukan formula yang tepat kala melumat Juventus, tim yang bahkan oleh Allegri sendiri dikatakan tidak punya cukup kapasitas bertarung di level tertinggi Liga Champions. Emery juga sukses membuat Bayern Munich tidak banyak berkutik.Â
Emery mungkin sedang terlibat pada momentum yang tidak cukup dia hadapi dengan komposisi selevel Villareal. Sebab seperti memaksakan Arsenal di tempat yang bukan maqomnya, ups.Â
Karena skuadnya harus bertemu proyek sepak bola yang sedang berada dalam level terbaiknya. Persenyawaan Klopp dan Liverpool sedang garang-garangnya. Sekurangnya dalam tiga musim terakhir.Â
Maka jika proyek Klopp adalah sejenis pencerahan terhadap warisan zaman antik dan kegelapan, dia sedang bergairah akan penemuan dan pengembangan diri; sedang menuju pendewasaan. Dia bahkan tengah menjadi model dalam sepak bola.
Pendek kata, Klopp tengah menulis lembar sejarah baru Liverpool sesudah era subordinatif. Era dimana imperium Sir Alex Ferguson begitu kuat dan seolah-olah "untouchable" di Liga Inggris.
Klopp memang datang di masa senjakala imperium Sir Alex. Namun dia tidak datang sebagai pemenang di masa sepi. Kemunculan Klopp bukan saja mewakili sebuah mazhab dalam sepak bola, katakanlah begitu. Kemunculannya adalah pertanda dari regenerasi yang meluas.Â
Sebagaimana ditandai dengan munculnya generasi Jose Mourinho, Pep Guardiola, Antonio Conte, Maurio Pocchetino, hingga Thomas Tuchel, Frank Lampard dan Steven Gerard, sekadar menyebut beberapa nama mentereng di Liga Inggris kekinian.
Lantas, bagaimana dengan proyek seorang Carlo Ancelotti? Tua bangka yang masih gagah bertarung di puncak perebutan mahkota liga Champions? Ilustrasi apa yang bisa dilekatkan padanya?
Paling sederhana, apa yang dilakukannya bersama Real Madrid subuh tadi adalah buah dari pengalaman yang panjang. Kematangan yang telah teruji dan sulit dicari tandingannya.Â
Tidak banyak nama lain yang juga memiliki kapasitas menjuarai liga Champions namun berbeda dengan Ancelotti, mereka tak selalu mampu berada di level pelatih elite Eropa.
Jose Mourinho misalnya. Sebagai pelatih juara Champions, lihat apa yang sedang dijalaninya sekarang ini. Sesudah masa singkat proyeknya di Man United, dia gagal lagi di Hospurs. Sekarang bertarung nasib lagi di Italia dengan AS Roma yang lagi-lagi tak mampu masuk golongan "the Big Four".Â
Satu-satunya pertaruhan terakhirnya musim ini adalah menjuarai liga Eropa. Mou seperti pelan-pelan tinggal cerita. Tapi tidak dengan Ancelotti yang juara di lima liga top Eropa: Italia, Inggris, Spanyol, German dan Perancis. Dia masihlah jaminan juara di level para elite.Â
Seperti subuh barusan, Ancelotti sukses menciptakan keajaiban.
Pada mulanya, Benzema, dkk tidak banyak berkembang di babak pertama. Mereka kalah dalam kontrol terhadap permainan. Termasuk tak mampu menciptakan sebiji saja sepakan ke gawang.Â
Walau begitu, mereka tetap kokoh di belakang dan relatif sukses menetralisir agresivitas taktik Pep Guardiola.Â
Hingga menit ke-73, ketika Riyad Mahrez membuat sepakan melengkung yang indah. Sepakan yang memaksa Courtois cuma boleh menangkap udara kosong. Ketegangannya adalah 20 menit tersisa bukanlah waktu yang lama.Â
Perubahan apa yang bisa dilakukan Ancelotti dan berdampak nyata?
Don Carlo memilih menyuntikan darah muda. Dimulai dari menggantikan Kroos dengan Rodrygo pada 5 menit sebelum gol Mahrez. Rodrygo adalah anak muda Brazil yang baru berumur 21 tahun. Kemudian disusul penggantian dua partner inti Kroos di tengah, Casemiro dan Modric.Â
Seluruh penikmat sepak bola mahfum, Kroos-Casemiro-Modric adalah poros dari stabilitas dan kontrol. Mereka adalah jantung dari capaian Real Madrid di beberapa musim terakhir. Dan Don Carlo memilih mengambil risiko.
Marco Asensio yang berumur 26 tahun masuk. Dan yang paling penting adalah anak muda yang mengingatkan akan gaya Makalele juga Redondo di masa lalu, si Eduardo Camavinga. Anak muda Perancis ini baru berusia 19 tahun!
Sepanjang sisa waktu babak kedua, Asensio mungkin tidak terlalu menonjol. Tapi Rodrygo dan Camavinga betul-betul memberi efek kejut. Rodrygo menyumbang dua gol di menit yang kritis dan hanya berselang semenit saja.Â
Di menit ke 90, ia menyambar asis Benzema yang menerima umpan lambung dari kejelian Camavinga membaca celah. Gol keduanya dilakukan dengan heading sesudah mendapatkan umpan terusan Asensio buah crossing Carvajal.Â
Dua gol cepat ini menunjukan ketenangan dan kejeniusan Ancelotti membaca situasi di menit-menit kritis. Di sisi sebelahnya, menampilkan ketidakmampuan barisan belakang Man City bertahan di menit-menit kritis.Â
Ederson, dkk seketika ambruk secara mental. Paris makin kabur dari pandangan.Â
Lihatlah! Tiga anak muda pengganti itu telah menjadi "pengubah takdir".Â
Puncak dari "unbelieveable drama" ini disempurnakan oleh Benzema sendiri. Pergerakannya yang tetap lincah hingga babak pertambahan memaksa tekel terlambat Diaz di dalam kotak 16. Penalti.
Don Carlo Ancelotti kembali menunjukan maqomnya. Pelatih berkebangsaan Italia ini menegaskan jika dirinya adalah sang kaisar di ajang liga Champions. Tanpa banyak bacot kayak nyang satu itu. Hihihi, tapi ini dulu.
Dengan drama keajaiban ini, juga yang dilakukan Liverpool sesudah ketinggalan dua gol, tidak ada lagi bantahan bahwa partai final di Paris nanti adalah pertarungan dua klub terbaik di muka bumi. Keduanya memang klub kaya yang mampu membayar pelatih jenius dan menggaji pemain-pemain mahal.
Tapi kita mungkin perlu melihat pertarungan final nanti bukan saja sebagai wakil dari dua liga.Â
Namun juga pertarungan Liverpool dengan Real Madrid di edisi final ini adalah adu taktik dari dua generasi kepelatihan. Yang juga mewakili dua kultur besar lagi mapan, Jerman dan Italia.
Karena itu, saya tidak ingin berandai-andai siapa yang bakal menjadi kampiunnya. Pertemuan "aliran lama dan baru" yang mengejawantah dalam dua klub raksasa di pemuncak saja sudah cukup jadi alasan mengapa proyek 'The Citizens" harus dihentikan.
Demi pamungkas liga Champions yang lebih ikonik.Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H