Marco Asensio yang berumur 26 tahun masuk. Dan yang paling penting adalah anak muda yang mengingatkan akan gaya Makalele juga Redondo di masa lalu, si Eduardo Camavinga. Anak muda Perancis ini baru berusia 19 tahun!
Sepanjang sisa waktu babak kedua, Asensio mungkin tidak terlalu menonjol. Tapi Rodrygo dan Camavinga betul-betul memberi efek kejut. Rodrygo menyumbang dua gol di menit yang kritis dan hanya berselang semenit saja.Â
Di menit ke 90, ia menyambar asis Benzema yang menerima umpan lambung dari kejelian Camavinga membaca celah. Gol keduanya dilakukan dengan heading sesudah mendapatkan umpan terusan Asensio buah crossing Carvajal.Â
Dua gol cepat ini menunjukan ketenangan dan kejeniusan Ancelotti membaca situasi di menit-menit kritis. Di sisi sebelahnya, menampilkan ketidakmampuan barisan belakang Man City bertahan di menit-menit kritis.Â
Ederson, dkk seketika ambruk secara mental. Paris makin kabur dari pandangan.Â
Lihatlah! Tiga anak muda pengganti itu telah menjadi "pengubah takdir".Â
Puncak dari "unbelieveable drama" ini disempurnakan oleh Benzema sendiri. Pergerakannya yang tetap lincah hingga babak pertambahan memaksa tekel terlambat Diaz di dalam kotak 16. Penalti.
Don Carlo Ancelotti kembali menunjukan maqomnya. Pelatih berkebangsaan Italia ini menegaskan jika dirinya adalah sang kaisar di ajang liga Champions. Tanpa banyak bacot kayak nyang satu itu. Hihihi, tapi ini dulu.
Dengan drama keajaiban ini, juga yang dilakukan Liverpool sesudah ketinggalan dua gol, tidak ada lagi bantahan bahwa partai final di Paris nanti adalah pertarungan dua klub terbaik di muka bumi. Keduanya memang klub kaya yang mampu membayar pelatih jenius dan menggaji pemain-pemain mahal.
Tapi kita mungkin perlu melihat pertarungan final nanti bukan saja sebagai wakil dari dua liga.Â
Namun juga pertarungan Liverpool dengan Real Madrid di edisi final ini adalah adu taktik dari dua generasi kepelatihan. Yang juga mewakili dua kultur besar lagi mapan, Jerman dan Italia.