Perang psikis dalam sepak bola selalu memiliki daya tariknya. Apalagi pada laga-laga menuju puncak seperti yang dihadapi Liverpool kontra Villareal.Â
Kita boleh menyimaknya dari kata-kata berikut. Pertandingan pekan depan akan sangat berbeda dari malam ini. Sangat penting di kandang kami untuk mengubah sesuatu, mungkin secara taktik. Mereka akan lebih menderita daripada malam ini.Â
Unai Emery menjanjikan ini sesudah kekalahan leg pertama di Anfield seperti dilansir laman Kompas.com. Sebagai pemuja sepak bola yang timnya disingkirkan Villareal dengan cara yang memalukan, sesumbar seperti bukan semacam promosi bahwa laga kedua akan sengit dan menghibur.
Selain itu, janji membuat penderitaan itu bukan semata ketinggalan dua gol di Anfield tidaklah merupakan petunjuk dari hasil yang sama bakal berulang di Estadio de la Ceramica.Â
Juga bukan semata bermakna bahwa tekad seperti itu dibutuhkan untuk menaikan "moral of war" dari Raul Albiol, dkk. Atau, sebuah isyarat Villareal yang selalu gagal merusak dominasi Real Madrid dan Barcelona ini bisa melakukan "epic comeback".
Tapi, yang tak kalah pentingnya adalah, janjia pembalasan 'The Yellow Submarine" mengingatkan bahwa selalu ruang bagi kemungkinan dimana hasrat bagi pembalasan adalah keniscayaan.Â
Sebagaimana kata-kata Nelson Mandela, "It always seems impossible until it's done".Â
Lalu bagaimana janji menghadirkan penderitaan itu mewujud di lapangan? Dalam adu taktik yang berlangsung selama 90an menit?
Semua orang yang menyaksikan langsung dari layar kaca akan melihat 45 menit yang brilian dari cara bermain Villareal. Mereka berhasil menciptakan gol cepat di menit ke-3. Kemudian menambah satu gol lagi sebelum turun minum dengan selebrasi menunjuk jam tangan.Â
Francis Coquelin, si pembuat gol, seperti mengatakan ini hanya soal waktu saja!
Kita yang menyimak dengan seksama sadar benar jika 45 menit pertama adalah panggung bagi kegagapan Van Dijk, dkk. Mereka kehilangan kemampuan mendominasi. Alur serangan sering mudah patah di hadapan blokade marking yang konstan.Â
Tiago, sang playmaker, juga beberapa kali dirusak kreatifitasnya. Tridente Salah-Jota-Mane juga sering patah di hadapan koordinasi bek senior, Raul Albiol. Tak ada satu biji tembakan ke gawang yang dibikin Liverpool.
Dua gol itu menyamakan agregat dan "The Reds" babak pertama malah terlihat serupa Juventus yang malang namun tetap percaya pada tradisi.Â
Saya sendiri hampir membuat status, WADUH LIVERPOOL! Iya, dengan huruf kapital semua.Â
Tapi, kita semua yakin benar Kloppisme  tidak bakal semudah diremuk oleh strategi membalik arus ala Emery. Situasi seperti ini justru bagus. Toh, siapapun yang lolos, saya tak punya suasana hati yang diremukredam. Â
Di titik ini, pertanyaannya adalah seperti apa strategi Klopp membalik keadaan? Mungkinkan Liverpool yang pada akhirnya memastikan ketidakmungkinan itu sebagai nasib yang pasti untuk Villareal?
Suka atau tidak, Binder yang jadi komentator di SCTV benar.Terutama ketika menyebut masih ada Luis Diaz. Penyerang berkebangsaan Kolombia yang baru saja bergabung di Anfield dan langsung berfungsi sebagai pembeda di banyak laga.
Diaz memiliki skill individual yang bisa mengacak-acak pertahanan Villareal, terutama dalam duel one-on-one. Selain memiliki "estetika khas Amerika Latin", pria kelahiran 13 Januari 1997 ini juga lihai dalam mengkonversi peluang menjadi gol.Â
Walau kita tahu si pemecah tembok kebuntuan adalah sepakan Fabiano sesudah memaksimalkan asis Salah di menit 62, gol Luis Diaz lima menit kemudian memberi efek yang memaksa Villareal seperti Sisifus. Gol yang boleh dikata menciptakan kondisi demoralisasi perlahan-lahan.Â
Villareal yang (awalnya) mengepung, agresif dan cepat di babak pertama tak lagi mampu kembali ke level selayaknya. Kapasitasnya seketika meredup. Energi tempurnya menguap perlahan, entah mengikuti keringat atau galau nafas.Â
Pamungkasnya adalah satu skenario serangan balik yang dimulai dari kejelian Naby Keita. Keita jeli melihat posisi dari Sadio Mane yang tinggal berhadapan dengan satu orang bek.Â
Dengan sekali sepakan, bola lambung itu memaksa bek terakhir Villareal ngos-ngosan mengejar Mane yang cepat, kokoh lagi tenang tiada tara.Â
Mane berhasil mendorong bola melewati hadangan kiper Rulli yang menyepak ruang kosong. Menggocek sebentar, menjatuhkan bek terakhir yang berusaha melakukan tekel unfaedah.Â
Lantas memasuki kotak 16, melihat sebentar ke gawang yang ditinggal kesepian, dan bersama sepakan pelan namun pasti mengakhiri asa Unai Emery. Skor berbalik 2:3.Â
Tak ada janji memberi penderitaan itu.
Penderitaan itu bukan saja batal diwujudkan. Penderitaan malah diciptakan di depan pemujanya sendiri. Mereka harus memeluk kegagalan ini bersama-sama. Janji memberi penderitaan Emery seketika tampak seperti khilaf.Â
Liverpool masihlah entitas ketidakmungkinan itu! Tapi, sekurang-kurangnya...
Menyitir kata-kata Nyai Ontosoroh, "Kalian sudah melawan sebaik-baiknya, setangguh-tangguhnya. Malang sekali, itu bukan Juventus-nya Allegri!"
 Liverpool masih yang terbaik. Bersama falsafah Gegenpressing dalam 5 musim terakhir terus berkembang ke bentuk yang makin kompetitif. 5 musim dimana 3 diantaranya berhasil mencapai final Liga Champion dengan salah satunya juara.Â
Jurgen Klopp, sang master mind, juga baru saja memutuskan kontrak baru dengan manajemen "The Reds".
Dengan hasil ini, satu-satunya yang menolak jika partai final nanti adalah pertemuan Liverpool dan Real Madrid hanyalah "The Citizens". Sementara mayoritas pemuja sepak bola dunia non-citizens pasti lebih penasaran seperti apa perjumpaan kedua klub yang lagi beringas-beringasnya di Inggris dan Spanyol ini? Â
Sebagaimana keinginan Mo Salah. Ada hasrat untuk membalas kekalahan di edisi 2018, di laga yang tidak bisa dimainkannya secara penuh karena "dibikin cedera" oleh Sergio Ramos.
Salah bilang begini, "Manchester City adalah lawan yang kuat dan sangat sulit, kami telah menghadapi mereka beberapa kali musim ini. Secara pribadi, saya lebih suka bermain melawan Real Madrid. Kami kalah dari Real Madrid di final Liga Champions, jadi saya ingin bertemu lawan ini lagi dan semoga kali ini kami menang," ujar mantan pemain Chelsea dan AS Roma tersebut.
Saya kira perjumpaan keduanya nanti bukan sekadar gengsi revans. Tapi yang lebih membuat penasaran adalah menjadi saksi pertarungan strategi Ancelotti Vs Klopp.Â
Mungkinkah pengalaman Italia bakal memutus dominasi pelatih Jerman dalam juara tiga musim terakhir liga Champions?
Ancelotti yang makin tua makin keladi itu terbukti sukses membuat Man City di Ettihad tak bisa tampil dominan di leg pertama. Kapasitasnya sebagai pemenang liga Champions membuat taktik Pep harus bekerja lebih gila lagi di Santiago Bernabeu.Â
Apakah Pep akan meniru cara Xavi yang barusan menorehkan kemenangan besar di sana?Â
Fakta Real Madrid baru saja juara La Liga ke-34 adalah peringatan jikalau Sterling,dkk bisa dibikin lebih merana lagi. Pendek kata, ada energi besar meluap-luap yang ingin melibas siapa saja di ruang batin Modric, dkk.Â
Sudah seharusnya Paris tidak menjadi tempat yang memindahkan pertarungan dari liga Inggris. Bosan, tauk!Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H