Dengan sekali sepakan, bola lambung itu memaksa bek terakhir Villareal ngos-ngosan mengejar Mane yang cepat, kokoh lagi tenang tiada tara.Â
Mane berhasil mendorong bola melewati hadangan kiper Rulli yang menyepak ruang kosong. Menggocek sebentar, menjatuhkan bek terakhir yang berusaha melakukan tekel unfaedah.Â
Lantas memasuki kotak 16, melihat sebentar ke gawang yang ditinggal kesepian, dan bersama sepakan pelan namun pasti mengakhiri asa Unai Emery. Skor berbalik 2:3.Â
Tak ada janji memberi penderitaan itu.
Penderitaan itu bukan saja batal diwujudkan. Penderitaan malah diciptakan di depan pemujanya sendiri. Mereka harus memeluk kegagalan ini bersama-sama. Janji memberi penderitaan Emery seketika tampak seperti khilaf.Â
Liverpool masihlah entitas ketidakmungkinan itu! Tapi, sekurang-kurangnya...
Menyitir kata-kata Nyai Ontosoroh, "Kalian sudah melawan sebaik-baiknya, setangguh-tangguhnya. Malang sekali, itu bukan Juventus-nya Allegri!"
 Liverpool masih yang terbaik. Bersama falsafah Gegenpressing dalam 5 musim terakhir terus berkembang ke bentuk yang makin kompetitif. 5 musim dimana 3 diantaranya berhasil mencapai final Liga Champion dengan salah satunya juara.Â
Jurgen Klopp, sang master mind, juga baru saja memutuskan kontrak baru dengan manajemen "The Reds".
Dengan hasil ini, satu-satunya yang menolak jika partai final nanti adalah pertemuan Liverpool dan Real Madrid hanyalah "The Citizens". Sementara mayoritas pemuja sepak bola dunia non-citizens pasti lebih penasaran seperti apa perjumpaan kedua klub yang lagi beringas-beringasnya di Inggris dan Spanyol ini? Â
Sebagaimana keinginan Mo Salah. Ada hasrat untuk membalas kekalahan di edisi 2018, di laga yang tidak bisa dimainkannya secara penuh karena "dibikin cedera" oleh Sergio Ramos.