Sebuah potongan video beredar di lini masa Twitter. Video dari Tiktok. Karena itu catatan ini rentan kehilangan konteksnya yang utuh. Tapi ringkasnya begini.
Sepasang bocah, mungkin baru usia SMP, diwawancarai seorang pria yang lebih tua umurnya. Bocah lelakinya bernama Alpin, pasangannya adalah Caca. Keduanya kompak menyatakan diri berpacaran. Sudah sebulan lamanya, ketika ditanya. Ongkos pacarannya dicari Alpin yang bekerja sebagai tukang parkir di pasar malam.
"Apa cita-citanya Alpin?"
"Ingin ngebahagiain dia."
Lugas tak pakai banyak celingak-celinguk. Atau senyum mesem-mesem, pipi merona lalu lari dari tangkapan kamera. Selayaknya bocah yang masih malu dengan kalimat-kalimat romantis yang tidak selalu bisa diperjuangkan orang-orang dewasa.Â
Atau, sebaiknya kecurigaan kita sebagaimana generasi dari masa sebelum apa saja bisa divideokan, terhadap perasaan risih seperti itu sudah harus dihilangkan.Â
Maksud saya, bagi remaja 90-an, menyatakan diri ingin ngebahagiain gebetan sebagai wujud pernyataan sikap yang ganjil, bukan cuma nekad sudah menjadi masa lalu. Antik!
Remaja 90-an terlalu sibuk dengan pergi mandi di kali, mencari ikan, lalu pulang untuk bersiap dihajar dengan sapu lidi atau batang beluntas. Terlalu sibuk pergi ke lapangan bola dan pulang sesudah magrib untuk menerima hajaran yang sama.Â
Remaja zaman itu bukan tidak jatuh cinta, terutama secara monyet. Kebanyakan tingkah tapi tidak berusia lama. Bukan juga tidak mendadak puitis, kehilangan selera makan, sibuk mengusap pomade Tancho di kepala yang sehari-hari mandi air kali dan kalau terpapar terik mentari bikin mengkilap dan berpotensi mual-mual hingga gangguan kehamilan dan janin.Â
Seperti salah seorang teman masa SD saya. Yang tiba-tiba saja kotak pensilnya penuh dengan nama seseorang yang ditulis dengan gaya huruf yang membesar hingga mengecil. Selayaknya mantra.
Seolah-olah nama itu telah berkuasa di mana saja, telah menjadi subyek pujaan. Telah menciptakan kenekadan yang memelihara kenakalan-kenakalan kecil.Â
Sudah tahu bocah yang seumuran itu tinggal di tangsi, anak seorang komandan TNI, masih saja nekad bolak-balik di muka pos jaga. Bertamu tidak, cari hukuman iya!Â
Atau seorang kawan saya yang lain. Yang sudah tahu bocah berseragam merah putih seperti dirinya adalah juara kelas dan anak seorang petinggi bank swasta, masih saja nekad ke rumahnya setiap sore. Hanya untuk mencet bel, dan ketika berbunyi, lari tunggang langgang hingga menghilang di tikungan.
Cinta monyet telah membuatnya menikmati keisengan-keisengan baru. Persis monyet bertemu pisang yang bentuknya tidak seperti yang dikenalinya.
Atau seorang kawan saya yang lain. Yang ketika mengetahui cewek pindahan itu bakal mengambilalih posisinya sebagai juara di kelas 4 sebuah SD Inpres, bukannya sibuk belajar, malah sibuk menciptakan sinyal-sinyal jatuh hati yang malah terbaca aneh.
Walhasil, cewek pindahan itu terus saja juara kelas dan dia sendiri makin terlempar kedalam cinta monyetnya yang tolol. Tidak ada sedikitpun tanggapan balik. Boro-boro, cewek itu malah ingin pindah sekolah lagi andai ada SD Inpres yang lebih baik!
Tiga contoh ini adalah kisah tiga sekawan. Salah satu anggotanya adalah saya. Berpuluh-puluh tahun yang lalu. Anda boleh memilih cerita yang paling tolol untuk menuduh saya adalah pelakunya. Bebas, apalagi tuduhan itu bisa bikin Anda bahagian! Eaaaa.
Tapi tak ada sebijipun dari kami, dalam umur yang masih susah ngebersihin ingus sendiri itu, pernah bicara tentang kebahagiaan dan cara-cara mewujudkannya. Kebahagiaan adalah kata yang asing, yang bukan tak mungkin hanya akan menjadi beban.
Sebab hidup kami masih suka mencari ikan di comberan, mandi di kali, main bola sampai lupa magrib atau dengan bolos sekolah. Atau pergi dalam rombongan kecil ke kebun tetangga demi sebutir mangga dan drama kejar-kejaran sama pemiliknya.
Atau duduk bergerombol di depan tv menunggu si Unyil tayang. Banyak dari kami yang masih dibedakin dengan asal oleh emaknya.
Si dia, dia, atau dia atau siapapun saat itu hanya magnet sosial di sekolah. Di jam-jam dimana kita inginnya main bola malah disuruh kerjakan soal matematika.Â
Pesona mereka tidak bisa mengganti apalagi membatalkan luapan sukacita mencari ikan di got, mencetak gol, lolos dari kejaran pemilik kebun mangga.Â
Mereka tidak pernah bisa membuat kita menyediakan diri menjadi tukang parkir demi membayarkan jajan atau membelikan ikat rambut yang baru. Tidak demi apapun.
Jadi, tidakkah kehendak untuk membahagiakan pada wajah dengan ingus yang meleleh dan rambut bau matahari bikin mual itu lebih tampak sebagai kerelaan memeluk beban?
Tapi Alpin, bocah lelaki di video yang ramai itu, telah berani memeluk beban. Dari mana Alpin membentuk preferensinya, itu perkara yang lain lagi.Â
Yang terang di mata saya, ia memilih meniti konsekuensi dari kata yang tiada habis-habisnya diseminarkan di kelas-kelas motivasi. Â
Ia juga bukan ingin menjadi dewasa sebelum umurnya tiba. Karena perkara sebagai manusia dewasa itu bukan konsekuensi yang niscaya dari penjumlahan umur. Seperti kata sebuah iklan rokok, tua itu pasti, dewasa adalah pilihan.
Bagi saya, kehendaknya membahagiakan Caca lebih seperti peringatan. Alih-alih dagelan.Â
Di hari-hari dimana manusia dewasa kelelahan dengan naiknya harga barang-barang; lelah dengan kemacetan; dengan kerja yang tidak menambah-nambah kekayaan; dengan pengeluaran yang makin mengenaskan.
Yang ingin kembali ke dunia anak-anak namun hanya terdengar seperti kehilangan harapan, ada Alpin yang bertekad membahagiakan Cacanya.
Tidak terlalu penting jika membahagiakan yang dikerjakan Alpin adalah tindakan yang terlihat sepele belaka di mata orang-orang dewasa, kalau bukan niat yang naif. Tapi Alpin sudah berusaha tidak main-main demi Caca, misalnya, dengan menjadi tukang parkir di pasar malam.Â
Mungkinkah orang-orang dewasa--iya maksudnya saya dan Anda sekalian--telah terlalu rumit-jungkir-balik dengan konsep kebahagiaan itu? Atau terpaksa mesti rumit karena cara mencapainya telah didominasi oleh satu mazhab yang tidak disadari?Â
Paradoksnya, ketika makin diusahakan malah makin didekatkan dengan jenis-jenis baru ketidakbahagiaan. Seperti kutukan sangkar besi saja. Atau siklus komedi tragis orang-orang dewasa.
Lalu dari Alpin dan Caca, dengan gambaran bahagia yang sesederhana mentraktir kembang gula di pasar malam, kita merasa ada yang sedang meruntuhkan batas.Â
Aya-aya wae.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H