Mereka tidak pernah bisa membuat kita menyediakan diri menjadi tukang parkir demi membayarkan jajan atau membelikan ikat rambut yang baru. Tidak demi apapun.
Jadi, tidakkah kehendak untuk membahagiakan pada wajah dengan ingus yang meleleh dan rambut bau matahari bikin mual itu lebih tampak sebagai kerelaan memeluk beban?
Tapi Alpin, bocah lelaki di video yang ramai itu, telah berani memeluk beban. Dari mana Alpin membentuk preferensinya, itu perkara yang lain lagi.Â
Yang terang di mata saya, ia memilih meniti konsekuensi dari kata yang tiada habis-habisnya diseminarkan di kelas-kelas motivasi. Â
Ia juga bukan ingin menjadi dewasa sebelum umurnya tiba. Karena perkara sebagai manusia dewasa itu bukan konsekuensi yang niscaya dari penjumlahan umur. Seperti kata sebuah iklan rokok, tua itu pasti, dewasa adalah pilihan.
Bagi saya, kehendaknya membahagiakan Caca lebih seperti peringatan. Alih-alih dagelan.Â
Di hari-hari dimana manusia dewasa kelelahan dengan naiknya harga barang-barang; lelah dengan kemacetan; dengan kerja yang tidak menambah-nambah kekayaan; dengan pengeluaran yang makin mengenaskan.
Yang ingin kembali ke dunia anak-anak namun hanya terdengar seperti kehilangan harapan, ada Alpin yang bertekad membahagiakan Cacanya.
Tidak terlalu penting jika membahagiakan yang dikerjakan Alpin adalah tindakan yang terlihat sepele belaka di mata orang-orang dewasa, kalau bukan niat yang naif. Tapi Alpin sudah berusaha tidak main-main demi Caca, misalnya, dengan menjadi tukang parkir di pasar malam.Â
Mungkinkah orang-orang dewasa--iya maksudnya saya dan Anda sekalian--telah terlalu rumit-jungkir-balik dengan konsep kebahagiaan itu? Atau terpaksa mesti rumit karena cara mencapainya telah didominasi oleh satu mazhab yang tidak disadari?Â
Paradoksnya, ketika makin diusahakan malah makin didekatkan dengan jenis-jenis baru ketidakbahagiaan. Seperti kutukan sangkar besi saja. Atau siklus komedi tragis orang-orang dewasa.