Mohon tunggu...
S Aji
S Aji Mohon Tunggu... Lainnya - Story Collector

- dalam ringkas ingatan, tulisan tumbuh mengabadikan -

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menikmati "Antixavi" di Kaki-kaki Eintracht Frankfurt

15 April 2022   10:45 Diperbarui: 16 April 2022   00:45 920
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah kecewa pemain Barcelona sesudah takluk dari Eintracht Frankfurt di leg kedua Liga Eropa di Camp Nou (AFP/Jose Jordan via Kompas.com)

Sejak pulang ke Camp Nou, tempat dimana dia menciptakan keajaiban bersama Iniesta dan Messi, para pemuja tiqui taca kembali dipenuhi harap. Termasuk saya yang bukan cules. 

Sebab, walau seorang Belanda dan juga merupakan legenda hidup Barcelona, Ronald Koeman gagal memberi sentuhan yang boleh memulihkan kengerian Barcelona seperti era Frank Riijkard, Pep Guardiola atau Luis Enrique.

Harap cules kini tak salah atau bertepuk sebelah tangan. 

Bersama Xavi Hernandes, Blaugrana pelan-pelan menemukan identitas bermainnya. Dominan, atraktif dan menyerang. Sepak bola yang menghibur. Di tangan bekas pelatih Al Sadd, Barcelona kembali mengalami kegembiraan. Sempat terlempar hingga peringkat 9, kini boleh kembali ke posisi 2.

Xavi baru bekerja dalam tempo tidak kurang dari 5 bulan. Namun Sergio Busquets, dkk telah berhasil membebaskan diri dari bayang-bayang medioker alias takdir mid-table team. 

Bola.net mencatat jika sejauh ini, statistik Xavi di Barcelona adalah 25 laga, 14 kali menang, tujuh imbang, dan empat kali kalah. Barcelona era Xavi rata-rata mencetak dua gol per laga dan kebobolan 1,12 gol per laga. 

Dalam rangkaian cerita sukses ini, salah satau yang penting dan selalu dinanti-nanti seluruh dunia adalah bagaimana mereka menghadapi El Clasico. 

Walau sempat kalah di pertemuan pertama dengan skor tipis 1:2, saat gantian menjadi tamu, game plan Xavi sukses meremuk Real Madrid dengan skor telak 0:4! 

Carlo Ancelotti seperti orang tua yang kehilangan siasat meladeni juru taktik dengan pengalaman dari daratan Timur Tengah. Dalam perhitungan klasmen, Xavi membuat Barcelona memiliki selisih poin 12 dengan Real Madrid dengan tabungan satu laga tunda. Ada kans meraih gelar juara La Liga.

Hingga tadi pagi, drama penghancuran "Xavi Effect" ditunjukan Eintracht Frankfurt di ajang Liga Eropa. 

Tentu saja, sebagai unggulan pertama dan main di Camp Nou, melibas anak asuh Oliver Glasner adalah keniscayaan. Tapi, klub dari Jerman tidak takluk dengan cara sesederhana itu. 

Pendek kata, situasinya berbalik dalam dua konteks. 

Pertama, jika di kasta tertinggi pertarungan juara Eropa, Bayern Munchen justru dibikin mati gaya di hadapan Vallareal (sebab itu kamu harus percaya nubuat barangsiapa menyingkirkan Juventus, maka ia layak melaju hingga, sekurangnya, Semifinal!). 

Jangan lupakan fakta bahwa Villareal dilatih sosok yang langganan juara liga Eropa, Unai Emery.

Kedua, di kasta lapis dua, Barcelonalah yang mati gaya di hadapan kolektivitas yang rapi dengan serangan balik cepat lagi efektif. Seperti yang tersirat dari statistik whoscored, Barca dominan hingga 74% dalam penguasaan bola. 

Dembele, dkk juga melepas 683 operan berbanding 232 atau 3 kali lipatnya. Tapi dari operan sebanyak itu, hanya ada 6 operan kunci. Sedang Eintracht Frankfurt menciptakan 12 operan kunci. Korelasi dengan ini, Barca hanya punya 4 shots on target, sedang Frankfurt mengumpulkan 7 kali.  

Statistik post-match yang rasanya cukup mewakili karena jika melihatnya di layar kaca, Dembele, dkk memang seperti mengalami jalan buntu. Filip Kostic dan Rafael Borre tampil lebih menyengat dibanding manuver Dembele, Aubameyang, Torres hingga Depay, Traore atau Luke de Jong. 

Barca kali ini miskin kreativitas. Serangannya monoton- terlihat terlalu bertumpu pada Dembele (?)--dan kekurangan gebrakan dari tengah. Operan-operan pendek yang menyusuri celah pertahanan yang rapat khas Barca tak terlihat. 

Sergio Busquets sebagai komandan di lini tengah gagal memimpin pembongkaran benteng Frankfurt yang mengusung formasi 3-4-2-1.  Lebih dari itu, tim tamu datang dengan kolektivitas yang lebih solid. 

Walau di liga mereka berada di posisi 9, cara Filip Kostic, dkk subuh barusan dalam menetralisir Barcelona adalah salah satu pertunjukan yang cakep. Oliver Glasner berhasil mentransfer energi dari cerita sukses Villareal. Ia berhasil membuktikan kata-katanya.  

Ternyata, di luar hasil buruk, tersingkir sebagai unggulan paling difavoritkan di rumah sendiri ternyata bukan satu-satunya duka Barcelona. Ada duka tambahan yang sifatnya "non-taktikal" namun berbahaya dalam kerangka mental.

Duka itu adalah manakala Camp Nou berubah putih oleh kehadiran pendukung Eintracht Frankfurt. Sebagaimana dilansir Kompas.com, mereka seharusnya cuma mendapatkan kapasitas sebanyak 5.000 tiket. Namun, sebagaimana terlihat dari layar kaca, sejumlah laporan (juga) menyebutkan bahwa ada 30.000 fans Eintracht Frankfurt yang memadati stadion milik Barcelona.

Gara-gara kondisi yang anomali ini, Xavi sampai bilang begini, "I was expecting 70.000 or 80.000 cules here but its wasn't like that. The club is checking what happened."

Ebeeh!

Apa yang terjadi? Bagaimana bisa Camp Nou yang angker itu dianeksasi oleh rombongan putih-putih dari Jerman?

Joan Laporta, sang bos cuma bisa misuh-misuh sambil berkata, "Ini keterlaluan dan memalukan. Kami tidak bisa menghindari situasi ini, tetapi hal seperti ini telah diizinkan selama bertahun-tahun dan mulai saat ini kami akan lebih ketat."

Sembari melanjutkan, "Sebagai seorang fans, saya merasa malu dengan apa yang telah saya lihat. Saya melihat banyak fans tim lain dan saya sangat menyesal atas apa yang terjadi." Tapi apa mau dikata, kacang ijo terlanjur menjadi toge!

Kekalahan dua kali (di lapangan dan di tribun) ini justru harus dinikmati. Hal mana akan memberi gambaran dari titik lemah proyek Xavi Hernandes bersama Barcelona. 

Ini juga akan menjadi sejenis rasa sakit dalam dosis yang kuat yang akan diterjemahkan Xavi menjadi daftar strategi membawa Barcelona terus berkembang menemukan bentuk terbaiknya.

Ya iya dong! Kalau justru menemukan bentuk terburuknya, mending doi balik lagi ke Timur Tengah. Iya kan, iya kan, iya kaan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun