Saya hanya melihat mata ibu. Kata-kata yang tertulis di mata saya cuma tunggal, "Ma, ada apa?"
Tapi ibu saya menunda memberi keterangan. Ikuti saja apa yang sedang mereka rencanakan. Walau status anak pertama, tidak usah berkecil hati karena beberapa keputusan mungkin tidak melibatkan dirimu. Kamu bukan presiden!
Anak muda itu membawa kami memotong antrian. Langsung ke meja petugas. Wah, asik nih, batin saya sembari melirik ke antrian panjang.
"Tolong ibu ini dirapid." Bisik si anak muda ke petugas.Â
Saya terus tahu apa yang terjadi. Tapi sebaiknya mendengar dari kesaksian ibu saja.
"Jadi tadi itu pas mau duduk, mama permisi sama petugas itu. Mungkin karena melihat mama cuma sendiri, dia terus tanya sama siapa. Mama sudah bilang sama anak, lagi di toilet. Dia terus bilang mari ibu ikut saya tes antigen."
Anak muda anggota satgas itu bahkan mengantar kami ke petugas skener dokumen EHAC hingga keluar bandara. Memastikan jika prosedurnya tidak membuat kami ribet.Â
"Hari ini so ada sekitar 20-an yang reaktif," ujarnya pelan. Seperti menegaskan kewaspadaan.Â
Waduh, banyak juga. "Terima kasih banyak. Terima kasih." Hanya itu yang saya ulang-ulang ketika kami berpisah di pintu keluar Sam Ratulangi.Â
Saya melihat ibu saya. Beliau hanya tersenyum. Anugerah orang sepuh, batin saya. Hehehe.
Inisiatif anak muda anggota satgas itu patut dikenang. Di tengah kelelahan mengawasi antrian dan memastikan prosedur kedatangan penumpang ditegakkan, dia masih memiliki kepedulian. Terutama kepada mereka yang sepuh dan bepergian sendirian.