Selalu tersedia rindu yang abadi untuk kota kecil ini.Â
Selain kepada makam bapak, keluarga besar ibu, hingga kawan-kawan se-almamater. Dan, yang tak boleh dihapus dari daftar kerinduan adalah kuliner kampungnya.
Kuliner itu lazim di sebut makanan kobong. Menu yang seringkali dijajakan di acara arisan keluarga hingga perayaan syukur mereka yang baru saja wisuda. Â
Makanan kobong (kebun) adalah sebutan bagi jenis makanan yang berisi singkong, pisang, keladi yang direbus dengan santan serta sayuran-sayuran seperti jantung pisang, kangkung dan bunga pepaya, hingga sayuran segar sebagai lalapannya. Serupa terong kecil dan kacang panjang.Â
Semua ini akan disantap dengan aneka jenis sambal dan saus kacang. Termasuk papeda, ikan kuah kuning dan yang tak boleh diabaikan adalah gohu ikan. Plusnya, anda juga tak perlu membayar mahal untuk semua itu.
Makanan kobong adalah makan besar dengan menu sederhana yang bersahaja.Â
Di bawah langit sabtu pagi yang cerah saya pergi ke kompleks pasar Gamalama. Berjalan pelan-pelan dari depan Jatiland Mall.Â
Persis di pinggir pantai, sebuah warung sudah membuka dirinya. "Silakan masuk dan tenggelamlah dalam pemuasaan kangenmu!" Kalimat itu seperti mantra yang makin kencang berteriak di kepala.Â
Di depan sana, dalam warung berukuran sedang, meja-meja panjang berderet. Meja yang disediakan untuk enam orang. Bersih dan rapi.Â
Di atasnya selembar plastik yang menunggu dibuka. Makanan kobong bersembunyi di baliknya. Menunggu disantap pelan-pelan, mantap dan penuh rasa syukur.Â
Saya tidak sedang berdua saja bersama ibu. Ada juga pegawai kantoran yang baru selesai berolahraga dan memilih sarapan ke sini.
"Mo pake papeda?" tanya salah satu ibu yang masih mengenakan celemek. Ibu yang melayani kedatangan tamu yang lapar.
"Tarada, ibu."
"Saya," jawab ibunya sopan. Menggunakan kata "saya" adalah bentuk kesopanan terhadap mitra bicara yang hanya ditemukan di Ternate.Â
Sesudah mencuci tangan di wastafel, saya bergegas menuju meja. Tak banyak cakap, tak bisa lagi berlama-lama. Hanya ingin segera tenggelam kedalam lautan kenikmatannya.Â
Saya mengambil singkong rebus dan sayur jantung pisang. Menambahkan sesendok sambal dengan aroma bawang yang kuat. Sedikit pedas. Lalu sepotong ikan bobara dari kuah kuning. Pelan-pelan menyuapkannya ke dalam mulut yang memendam ngiler.Â
Pertemuan antara sambal, singkong rebus, lembut daging ikan bobara dan sayur jantung pisang begitu sempurna. Walau dominan asin, rasanya juga segar dan berkarakter "mana lagi": sesudah disuap, dicari lagi!
Sesudah itu, saya mengambil pisang yang agak manis dengan sedikit rasa gurih dari rebusan santan. Sebagaimana yang pertama, saya mengulang lagi.Â
Selanjutnya saya mencoba potongan terus kecil yang dicelupkan kedalam saus kacang. Menambahkan potongan ikan. Lalu menyuapkannya. Satu-satunya yang kurang adalah warung ini belum menyiapkan gohu ikan.Â
Saya menikmati sungguh-sungguh setiap suapan sampai terasa sudah harus berhenti. Alhamdulillah.
***
Bertemu (kembali) dengan makanan kobong adalah semacam ritus yang memelihara diri kedalam tradisionalitas. Kepada warisan kuliner kampung yang mengembalikan penyantapnya kedalam jenis kenikmatan sederhana lagi bersahaja.Â
Ritus makanan kobong ini bahkan telah menjadi sejenis panggilan pribadi yang hukumnya wajib bagi saya.Â
Tanpa melakukannya, ke kota yang sarat dengan hilir mudik pengojek ini hanyalah perjalanan yang sumbang. Kepulangan ke Ternate hanya akan meninggalkan kekosongan.
Selain itu juga, ritus makanan kobong seperti usaha untuk mengembalikan diri kedalam jejak asal-usul yang percampurannya mewakili dua tradisi besar; maritim dan agraris.Â
Dalam pertemuan dua tradisi itu, makan bukan sebatas perkara memenuhi kebutuhan akan rasa lapar. Makan adalah bentuk dari perawatan identitas yang dimulai dari meja makan.Â
Pendek kata, menjaga dan melestarikan jenis kuliner tertentu adalah kerja kebudayaan yang berusaha mengatasi pasang surut dari dinamika ruang dan waktu.
Maka dari itu, makan dan kenikmatan yang ditimbulkan olehnya lebih dari sekadar perkara lidah pada rasa. Tidak sebatas mengisi perut lapar dan menjaga pikiran tetap dalam kewarasan. Â
Lebih dari itu, di batas dalam komodifikasinya, ada cerita usaha kolektif manusia merawat "penemuan lokal" dari salah satu kerja fundamental demi menjaga keberlangsungan pergantian generasi. Â
Karena itu juga melakoni ritus makanan kobong bagi saya adalah kunjungan pada kebahagiaan yang dibentuk dari pengalaman lokal.Â
Pengalaman bahagia gaya lokal yang tentu penting untuk menjangkarkan (kembali) kesadaran dan penghormatan akan warisan generasi terdahulu.Â
Dalam pada itu, kita akan selalu disadarkan jika di dalamnya tersirat pesan tentang hidup berbangsa yang begitu kaya citarasa. Juga sejarah perjumpaan bangsa-bangsa Nusantara yang bertukar pengetahuan dalam seni mengolah pangan.Â
Disadarkan akan betapa melimpahnya warisan gastronomi nusantara.Â
Mengapa ini penting?
Sebagaimana dikatakan Panut Mulyono di Kompas.com, rektor universitas Gadjah Mada, gastronomi dapat membantu penyelesaian berbagai macam permasalahan bangsa melalui diplomasi kuliner serta membantu pelestarian lingkungan dan mengurangi dampak perubahan iklim.
Sebab itu juga, gastronomi merupakan soft power yang sangat strategis bagi Indonesia dalam mendukung perekonomian dan ketahanan pangan.
Dari orientasi yang sebesar ini, ritus "makanan kobong" dengan sajian yang berisikan hasil kebun dan laut, kita sejatinya tidak sedang berbagi cerita tentang rasa lapar dan pemuasaannya yang nikmat dan sederhana belaka.
Ada usaha bersama yang harus dikerangkakan secara sungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan sebuah bangsa melalui penemuan dan pewarisan kuliner.
Mengapa di Ternate kita bahagia? Kamu mungkin harus melakoni ritus makanan kobong untuk menemukan versimu sendiri, hehehe.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI