Bertemu (kembali) dengan makanan kobong adalah semacam ritus yang memelihara diri kedalam tradisionalitas. Kepada warisan kuliner kampung yang mengembalikan penyantapnya kedalam jenis kenikmatan sederhana lagi bersahaja.Â
Ritus makanan kobong ini bahkan telah menjadi sejenis panggilan pribadi yang hukumnya wajib bagi saya.Â
Tanpa melakukannya, ke kota yang sarat dengan hilir mudik pengojek ini hanyalah perjalanan yang sumbang. Kepulangan ke Ternate hanya akan meninggalkan kekosongan.
Selain itu juga, ritus makanan kobong seperti usaha untuk mengembalikan diri kedalam jejak asal-usul yang percampurannya mewakili dua tradisi besar; maritim dan agraris.Â
Dalam pertemuan dua tradisi itu, makan bukan sebatas perkara memenuhi kebutuhan akan rasa lapar. Makan adalah bentuk dari perawatan identitas yang dimulai dari meja makan.Â
Pendek kata, menjaga dan melestarikan jenis kuliner tertentu adalah kerja kebudayaan yang berusaha mengatasi pasang surut dari dinamika ruang dan waktu.
Maka dari itu, makan dan kenikmatan yang ditimbulkan olehnya lebih dari sekadar perkara lidah pada rasa. Tidak sebatas mengisi perut lapar dan menjaga pikiran tetap dalam kewarasan. Â
Lebih dari itu, di batas dalam komodifikasinya, ada cerita usaha kolektif manusia merawat "penemuan lokal" dari salah satu kerja fundamental demi menjaga keberlangsungan pergantian generasi. Â
Karena itu juga melakoni ritus makanan kobong bagi saya adalah kunjungan pada kebahagiaan yang dibentuk dari pengalaman lokal.Â
Pengalaman bahagia gaya lokal yang tentu penting untuk menjangkarkan (kembali) kesadaran dan penghormatan akan warisan generasi terdahulu.Â
Dalam pada itu, kita akan selalu disadarkan jika di dalamnya tersirat pesan tentang hidup berbangsa yang begitu kaya citarasa. Juga sejarah perjumpaan bangsa-bangsa Nusantara yang bertukar pengetahuan dalam seni mengolah pangan.Â