Di sepiring bubur, kita tenggelam dalam sejarah.
Pagi hari ini, sarapan bubur seperti memenuhi kewajiban. Terutama kewajiban terhadap tubuh dari kelalaian yang menyebabkannya harus terkapar tepar. Disempurnakan sedikit meriang bercampur pegal-pegal.
Sementara hari di luar sana sedang disandera pancaroba.Â
Maka bubur itu--sebagaimana bubur dari beras--ditanak untuk beberapa saat. Dengan api biru sedang. Kemudian ditaburi sedikit potongan daun bawang dan penambah rasa. Sembari menunggu ia bercampur dan bersatupadu, telur ayam kampung juga direbus sampai mendidih.Â
Semuanya proses penyiapan ini membutuhkan tidak lebih lama dari 30an menit. Tapi jangan lakukan ini di antara aktivitas menonton youtube atau memeriksa status di sosial media. Membuat bubur membutuhkan fokus dan kasih sayang. #EaaÂ
Dan bawalah bubur yang sudah rampung itu kepada piring atau mangkuk. Lalu taburi dengan dua atau tiga sendok abon Cakalang. Kemudian hiruplah aroma yang bersenyawa dari uap beras, potongan daun bawang segar dan abon Cakalang.Â
Lihatlah dengan seksama perpaduan warna kuning telur, coklat abon, hijau segar daun di atas warna putih beras. Lihatlah bagaimana tiga dunia bersatu di sana: dunia nelayan, petani dan peternak.Â
Sadarilah bagaimana bubur dari tiga dunia ini semua menopang hari-harimu yang sedikit berterimakasih, banyak menuntutnya. Hehehe.
Karena itu mungkin perlu pergi sebentar ke sejarah Tiongkok. Demi menemukan asal-usul bubur yang berakar dalam masa krisis pangan. Atau bubur yang menjadi bagian dari ritual keberimanan tertentu. Juga bubur yang disertakan kedalam usaha penyembuhan mereka yang sakit; seperti yang saya lakukan pagi ini.
Bubur juga telah mengalami "glokalisasi". Mengglobal sekaligus terlokalisasi.