Entah dipicu apa, tiba-tiba saja si Blade melaju. Mendekatkan bodinya ke matic, dan memberi kode dengan jemari kiri. Si cewek yang bawa matic seperti terkejut walau tak sampai oleng.Â
Saya yang kepo khas bapack-bapack masih jauh dari 50-an dan tentu saja bukan baby boomers terpaksa ikut-ikutan melaju dong. Ada apa sih?
Ternyata oh ternyata, si matic tidak mematikan lampu sein.Â
Sedari awal kita beriringan tiga motor di sepanjang jalan bukan kenangan, lampu sein kirinya menyala tanpa rasa bersalah. Si Blade yang memberi kode itu boleh jadi sedikit kesal.Â
Kode dengan jemari itu seperti teguran yang bilang, "Kalau memang mau ngajak terus, jangan nyalakan sein kiri. Perjalanan tidak sebermain itu!"
Si Blade kemudian melaju dan tidak menurunkan lagi gasnya. Jelas kesal, merasa dipermainkan.Â
Dari belakang saya yang masih terpapar kepo turut melaju juga. Itu yang bawa Blade, dengan celana selutut, siapa ya? Sejenis dengan saya atau sejenis matic? Â
Kalau sejenis saya, maka tindakan menegur itu tidak menarik. Laki-laki mudah merasa penguasa jalan padahal saya sering kali disalip cewek-cewek bahkan emak-emak yang berangkat kerja di sepanjang jalan Manado ke BitungÂ
Maka saya melajukan juga X-Ride yang lebih nyaman dibawa tanpa perasaan terburu-buru.
Saudaraku sekalian. Kali ini tidak tentang emak-emak yang belok ke kiri, seinnya ke kanan. Kali ini adalah cerita emak-emak Honda Blade yang menegur cewek matic sein kiri tapi entah kapan beloknya.
Kita mungkin memilih membiarkan kesalahan kecil, terlebih jika berulang dan cenderung banal di jalan raya. Seperti penggunaan lampu sein yang selaras antara niat dan tindakan. Walau kita tahu itu berisiko bukan saja bagi pengendaranya.Â