Ketika mengambil Ricky Kambuaya, saya pun hanya melihatnya sekitar lima menit. Meski dia jarang menjadi starter, saya melihat ada sesuatu yang bisa ditingkatkan terhadap Ricky Kambuaya - Aji Santoso, Pelatih Persebaya.
Dalam durasi dua tahun, Shin Tae-yong telah memberi bukti. Kerja kepelatihannya mampu membentuk timnas Garuda yang berkarakter. Mereka relatif seimbang dalam memainkan transisi bertahan-menyerang. Cukup dinamis ketika memainkan bola-bola pendek dengan cepat.Â
Kapasitas teknis-organisasinal itu disertai juga dengan semangat juang yang gigih. Ditambah lagi mereka adalah kumpulan anak-anak muda.Â
Tentu saja masih ada lubang yang bahkan sifatnya elementer, berulang dan menjengkelkan. Kalau kata komentator di televisi, daftar kesalahan menjengkelkan itu adalah kebiasaan-kebiasaan pemain kita.Â
Generalisasi yang cenderung berlebihan tapi siapakah yang lebih pintar dari komentator yang budiman?
Karena itu juga, semestinya, sejak PSSI mulai berani menggunakan jasa level world class serupa Luis Milla, kinerjanya tidak langsung diukur dari kegagalan di satu dua event besar.Â
Atau dipilih karena menyiapkan tim menghadapi even-even besar yang menyita harapan bersama doa-doa penduduk Indonesia. Sepak bola hanya melahirkan Messi, bukan Mesiah. Itupun masih dalam bayang-bayang Diego Armando Maradona.
Sudah waktunya mentalitas hasil instan dihentikan dari mimpi orang-orang di PSSI.
Tak berlebihan jika dikatakan bagi pecinta timnas yang #SelamanyaGaruda, Luis Milla masih dihormati dan dikangeni sampai detik ini karena kualitas khusus yang mampu dibentuknya. Pun dengan cara-cara Shin Tae-yong, beliau saya kira bakal mendapat penghormatan sejenis.Â
Rindu kita yang banget akan gelar adalah bentuk dari pengakuan akan kemampuan. Tapi rasa-rasanya lebih rindu timnas yang berkarakter, solid, penuh daya juang, bermain meyakinkan dan sportif.Â
Kombinasi kualitas yang bikin kita termewek-mewek melihat mereka berjuang membuktikan kata-kata Nelson Mandela: It Always Seems Impossible Until It's Done!Â
So, jika nanti Shin Tae-yong tak memiliki masa depan yang panjang maka sadarilah hanya Uruguay yang berani menggunakan Oscar Tabarez selama 15 tahun.
Oleh karena itu juga, ketimbang patah hati karena lagi-lagi dikecewakan keputusan PSSI, mari kita simak salah satu penemuan pelatih asal Korsel yang pernah mengeliminasi Jerman di piala dunia Rusia.
Eksperimen Sukses Bernama Ricky Kambuaya
Saya bagian dari barisan gagal move-on dari era Luis Milla, saya praktis tidak mengikuti anak-anak asuhan Shin Tae-yong. Juga tak mengikuti liga Indonesia secara telaten walau tahu Persipura sedang berada di titik nadir bersama coach Jacksen Tiago.
Hingga pada suatu jadwal, Persipura bertemu Persebaya. Duel sesama warisan perserikatan yang masih bertahan di era patah tumbuh dan kongsi klub-klub kekinian tanpa riwayat.
Persipura saat itu sudah unggul. Namun hasil akhir dibalik dengan sempurna oleh anak-anak asuhan Aji Santoso. Ricky bermain baik walau tak mencetak gol. Beberapa kali ia juga terlibat duel sengit tapi tetap sportif.Â
Dalam hati saya, ada lagi mutiara Papua yang bersinar di tanah Jawa sana. Uniknya, walau bukan satu-satunya, pria yang tempat kelahirannya sama dengan Boaz Salossa ini tak mengorbit dari jalur yang lazimnya melahirkan pemain top Papua.
Jalur itu adalah pernah memperkuat tim PON Papua lalu bergabung dengan Persipura. Ricky sependek yang bisa dilacak dari rekam jejak digital tak mengikuti jalur ini.Â
Ricky tercatat memiliki klub sejak bergabung dengan Pro Duta di usia yang belum genap 20 tahun. Kemudian bermain dengan klub liga II, PS Mojokerto Putra di tahun 2017. Sesudah dua musim di sini, Ricky bergabung dengan PSS Sleman yang diasuh mantan penyerang timnas, Seto Nurdiantoro.Â
Hanya semusim di Sleman, Aji Santoso membawa pemain yang gemar menaikkan celana sebelah kanannya ini ke Persebaya. Di Persebaya, Ricky bermain dalam pakem 4-3-3 dengan fungsi gelandang serang. Atau lebih pas sebagai box-to-box midfielder.
Bagaimana pria yang tanggal lahirnya sama dengan Karl Marx ini bisa meniti bintangnya di perantauan masih diselimuti misteri. Yang pasti kemunculannya mengingatkan pada bakat-bakat Papua yang tiada keringnya.Â
Selain itu, melalui lensa subyektif, Ricky Kambuaya mengingatkan pada karakter cukup lama tak tampak di skuad timnas Garuda.Â
Dulu, timnas punya gelandang serang Fachry Husaini untuk bermain di posisi gelandang serang. Lalu, sekurangnya, ada Asep Dayat yang bermain di antara Kurniawan dan Indriyanto ketika kita memiliki timnas produk Primavera, Italia.Â
Kemudian datang Uston Nawawi yang merupakan produk proyek Baretti dan seangkatan Elie Aiboy. Lalu ada Edward Ivakdalam yang tak lama di timnas. Sesudah itu, di masa Luis Milla, fungsi ini kiranya dipegang Septian David Maulana.Â
Tapi siapakah yang sejatinya mewakili fungsi box-to-box?
Pecinta timnas harus berterima kasih kepada Epis Jimatu. Sosok yang mungkin pertama kali melihat bakat dan melatih anak kedua dari empat bersaudara ini. Juga kepada coach Aji Santoso yang jatuh cinta hanya dalam 5 menit melihat.Â
Ada banyak kesaksian dalam catatan jurnalistik hingga video ulasan di Youtube yang menyebut pria kelahiran 1996 sebagai sosok sentral di timnas asuhan Shin Tae-yong.Â
Saya sendiri, pada mulanya melihat Ricky seperti mengenang sosok Juan Roman Riquelme. Riquelme adalah salah satu seniman lapangan hijau dari Argentina. Riquelme pernah mendapat penghargaan pemain paling artistik di tahun 2005 oleh harian top Spanyol, Marca.Â
Ricky punya kapasitas yang artistik itu walau tentu saja Riquelme masihlah yang berada di dunia para dewa. Riquelme juga "terlalu malas" dalam bertahan dan jelas bukan tipikal gelandang pekerja keras.Â
Saya sekadar ingin memadatkan Ricky dalam empat kualitas penting saja dari yang sudah banyak dikomentari. Tentu sejauh yang boleh dicandrai dari layar kaca.
Pertama, stamina kokoh. Stamina yang menyala-nyala membuat sosok ini memiliki mobilitas yang tinggi.Â
Beberapa kali mampu melakukan intersep dan menutup ruang di saat timnas tertekan. Seketika beralih fungsi menyerang, Ricky sudah berada di depan kotak 16. Penampilannya yang konstan-nyaris-tak-diganti selama turnamen adalah pembuktian tak terbantahkan dari stamina yang prima.
Kedua, ketenangan dan skil individu. Ricky hampir tak pernah menunjukan kepanikan. Penampilannya cenderung kalem.Â
Ketika dirinya memegang bola dan dikepung beberapa pemain lawan, ia tetap tak kehilangan kontrol bola. Tak jarang, ia melakukan manuver ke kotak 16 dengan dribling yang licin. Seperti yang dilakukannya kala melawan Singapura dan Thailand.Â
Pendek kata, di kaki dan kepala Ricky, selalu ada usaha menghancurkan kebuntuan.
Ketiga, visi yang tajam dan positioning. Keunggulan Ricky kala menyerang adalah visinya dalam melihat celah di pertahanan lawan.Â
Misalnya adalah gerak tipunya di pertahanan Malaysia yang membuat celah menganga. Celah ini dimanfaatkan Irfan Jaya yang sukses membuat kedudukan imbang. Atau ketika posisinya yang ideal ketika menerima umpan datar dari Witan.Â
Dengan sekali kontrol dan sepakan menyusur tanah, bola lepas dari tangkapan kiper Thailand di menit ke-7.Â
Keempat, nyali dan pengorbanan diri. Untuk yang satu ini, Ricky tergolong yang tak segan-segan beradu fisik dengan pemain lawan. Ricky juga siap pasang badan jika rekan setimnya dikasari. Nyali seperti ini dibutuhkan gelandang yang selalu harus stanby dalam dua situasi. Â
Demikianlah sedikit yang bisa diapresiasi dari sosok Ricky Kambuaya. Kepercayaan Shin Tae-yong yang dibalas dengan tuntas telah menjadikannya idola dan harapan baru. Kehadirannya telah memberi ciri yang "artisitik atau nyeni" khas talenta Papua.Â
Ricky Kambuaya, tak pelak lagi, adalah salah satu eksperimen sukses warisan Shin Tae-yong yang penting. Â
No Ricky, No Party! Hormaaat.Â
Sumber yang juga diacu dalam artikel ini: Jubi, Kompas, dan Bola.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H